Published on December 11th, 2021

Window Dressing: Unspoken Rules of The C-Suite

Istilah window dressing pertama kali berawal dari sektor ritel yang berarti menghiasi etalase toko untuk menarik pelanggan. Adapun pengertian window dressing yang diadopsi dari kosakata keuangan didefinisikan sebagai penggunaan transaksi keuangan jangka pendek untuk memanipulasi nilai akuntansi sekitar tanggal pelaporan kuartal-akhir (Allen – Saunders, 1992).
Manipulasi ini dilakukan oleh pihak manajemen dengan sengaja menyesatkan (meningkatkan penampilan) laporan laba rugi dan neraca perusahaan untuk menyembunyikan kinerja yang buruk atau kerugian moneter sebelum disajikan kepada klien atau pemegang saham. Dalam konteks keuangan, window dressing serupa dengan istilah-istilah seperti ‘cooking the books’, ‘creative accounting’, ‘Enronomics’ (mengacu pada Enron Scandal, penipuan akuntansi yang terjadi pada tahun 2001), dan ‘earnings management’ yang lebih sering dipakai oleh regulator akuntansi dan civitas akademika.

Window dressing terjadi di seluruh dunia pada semua jenis organisasi, besar dan kecil, publik dan swasta, nasional dan multinasional. Bahkan, ada negara bagian dan pemerintah yang melakukan perilaku tidak etis ini dengan mempercantik Produk Domestik Bruto (PDB) atau statistik tingkat pengangguran. Window dressing dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Salah satu yang paling ekstrim adalah penipuan akuntansi seperti yang dilakukan bukan hanya oleh Enron, tetapi juga Polly Peck, WorldCom, Tyco, Parmalat, American International Group, Satyam, Olympus, dan Tesco. Ada banyak bentuk window dressing pada akuntansi. Mari kita simak
beberapa diantaranya.

  1. Pembuatan secret reserves
    Pembuatan secret reserves berada di tangan akuntan dimana laporan keuangan disajikan sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibuka secara terbuka. Penciptaan secret reserves sering juga disebut dengan unpublished reserves. Unpublished reserves dapat dibuat dengan cara:
    ● Understatement terhadap aset dilakukan dengan membebankan depresiasi lebih dari yang wajar atau yang diijinkan
    ● Lebih banyak menciptakan provisions untuk piutang tak tertagih atau diskon pada debitur dari perkiraan piutang tak tertagih atau diskon pada debitur
    ● Overstatement terhadap liabilitas bersama dengan understatement terhadap klaim pemilik
    ● Perlakuan kewajiban kontinjensi sebagai kewajiban aktual pada sisi kewajiban neraca
  2. Under and over valuation of inventories
    Inventories adalah bagian paling penting dari aset lancar sebuah organisasi. Valuation of inventories tentu akan mempengaruhi estimasi modal suatu organisasi. Kurangnya valuation of inventories di tangan pada akhir periode akuntansi akan menurunkan laba dan juga sebaliknya.
    Maka pada saat seperti ini seorang akuntan dapat bertindak tidak etis dengan melakukan valuation of inventories seperti yang diinginkan oleh pejabat perusahaan.
    ● Undervaluation of opening inventories akan menaikkan keuntungan
    ● Overvaluation of opening inventories akan menurunkan keuntungan
    ● Undervaluation of closing inventories akan menurunkan keuntungan
    ● Overvaluation of closing inventories akan menaikkan keuntungan
    ● Pencantuman stok mati atau tidak berharga akan meningkatkan rasio lancar yang menjadi
    perhatian
  3. Pembuatan provisions
    Konvensi konservatisme memberikan perlindungan untuk overstatement terhadap laba dengan mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengantisipasi laba melainkan menciptakan provisions untuk kerugian. Akuntan menggunakan konvensi ini untuk membuat laporan laba rugi atas keinginan pemilik dengan menciptakan kelebihan akan provisions. Selanjutnya akuntan dapat menurunkan laba untuk mengurangi beban pajak dan menurunkan tingkat dividen, ataupun sebaliknya.
  4. Metode depresiasi
    Penerapan metode depresiasi berada juga di tangan seorang akuntan. Metode ini adalah untuk menunjukkan aset tetap pada biaya perolehannya terlepas dari nilai pasarnya. Memilih metode depresiasi yang tepat dapat membantu akuntan dalam melakukan tindakan creative accounting/window dressing.
  1. Penyalahgunaan konsep dan konvensi akuntansi
    Akuntansi memiliki prinsip, konvensi, dan konsep dasar untuk dipraktikkan oleh para akuntan saat menyiapkan dan menyusun laporan keuangan. Konvensi ini sering kali disalahgunakan oleh beberapa akuntan untuk melakukan tindakan tidak etis seperti creative accounting.
  2. Asumsi yang tidak realistis
    Window dressing ini dilakukan dalam bentuk membuat laporan keuangan dengan asumsi dasar yang tidak realistis oleh akuntan. Creative accounting menikmati dasar yang tidak realistis untuk memanipulasi akun.
  3. Pembiayaan di luar neraca
    Bentuk window dressing ini juga bertujuan untuk menyesatkan investor dengan tidak menampilkan pembiayaan utang di neraca (off balance sheet financing). Bukan tanpa alasan, perusahaan melakukan window dressing untuk memenuhi permintaan dan ekspektasi dari berbagai stakeholder seperti, pembuat kebijakan, investor, deposan, dan lembaga pemeringkat (Owen & Wu, 2011; Downing, 2012). Tidak hanya itu, memanipulasi pendapatan menjadi lebih tinggi membantu eksekutif menutupi keputusan yang kurang baik (seperti value-destroying acquisitions), mengurangi potensi pelanggaran perjanjian utang (seperti perlindungan bunga), memenuhi perkiraan analisis dan meningkatkan harga saham untuk menarik investor. Sebaliknya, memanipulasi pendapatan menjadi lebih rendah membantu perusahaan untuk memperoleh subsidi, menghindari pajak, dan mencegah campur tangan pemerintah (seperti anti-trust regulation) (Leung, D, 2019). Dilihat dari sisi perbankan, hal utama yang mendasari bank untuk melakukan window dressing adalah memenuhi ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) melalui ketersediaan pasar dan mempertahankan leverage untuk memenuhi harapan kreditur dan lembaga pemeringkat (Downing, 2012).

    Sekilas window dressing terlihat sebagai praktik yang merugikan investor. Pasalnya, perusahaan berusaha menarik investor dengan memanipulasi laporan keuangan. Namun, jika kita lihat lebih dalam lagi, laporan keuangan yang dipercantik memberi kesan bahwa saham tersebut lebih menjanjikan. Tidak hanya itu, dalam jangka pendek, window dressing dapat meningkatkan return investor. Sehingga, jika momen ini dimanfaatkan investor dengan baik, investor juga akan memperoleh keuntungan. Sebaliknya, dalam jangka panjang, window dressing akan merugikan investor mengingat cantiknya laporan keuangan perusahaan tidak akan bertahan hingga tahun berikutnya.

Umumnya, window dressing memiliki compensatory effect. Jika laba perusahaan pada tahun ini tinggi, di tahun berikutnya mereka harus mengkompensasi biaya tingginya laba pada tahun sebelumnya. Akibatnya, laba tahun berikutnya akan mengalami penurunan. Perusahaan yang dapat mengkompensasi biaya akibat tingginya laba di tahun sebelumnya tidak akan memperoleh masalah dari pelaksanaan window dressing. Sebaliknya, perusahaan yang gagal mengkompensasi biaya di tahun sebelumnya akan terlibat dalam masalah akibat melakukan window dressing. Salah satu perusahaan yang terlibat skandal window dressing adalah Enron.

Enron merupakan hasil merger dua perusahaan yang bergerak di bidang transmisi gas alam, Houston Natural Gas Corporation dan InterNorth, Inc. Setelah Amerika Serikat membuat Undang-Undang untuk mendeqregulasi penjualan gas alam pada tahun 1990-an, Enron mengubah dirinya menjadi pedagang kontrak derivatif energi, yang bertindak sebagai perantara antara produsen gas alam dan pelanggan mereka. Tidak lama kemudian, Enron mulai menguasai pasar kontrak gas alam dan mulai menghasilkan keuntungan yang besar. Adanya bull market pada tahun 1990-an juga membantu Enron untuk berambisi sehingga mereka memiliki pertumbuhan yang sangat cepat.
Membuat kesepakatan di mana-mana, siap menciptakan pasar untuk apapun yang mau diperdagangkan oleh siapapun. Enron juga memperluas pasarnya, tidak hanya pedagang kontrak derivatif energi, tetapi juga untuk berbagai komoditas seperti, listrik, batu bara, kertas dan baja.

Seiring berjalannya waktu, banyak perusahaan di bidang yang sama dengan Enron satu persatu masuk. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan mereka dengan cepat. Karena adanya tekanan dari investor akibat peristiwa mengakibatkan Enron mulai melakukan window dressing untuk menutupi masalah yang dimiliki. Enron menulis laba masa depan yang belum direalisasi dari beberapa kontrak perdagangan ke dalam laporan laba rugi saat ini, sehingga memberikan ilusi laba saat ini yang lebih tinggi. Selanjutnya, operasi Enron yang bermasalah dialihkan kepada Special Purpose Entities (SPEs) yang pada dasarnya adalah kemitraan terbatas yang dibuat dengan pihak luar. Meskipun banyak perusahaan mendistribusikan aset ke SPE, Enron menyalahgunakan praktik tersebut dengan menggunakan SPE sebagai tempat pembuangan untuk aset bermasalahnya. Mentransfer aset-aset tersebut ke SPE berarti bahwa aset-aset tersebut dijauhkan dari pembukuan Enron, membuat kerugiannya terlihat tidak terlalu parah daripada yang
sebenarnya.

Dampak dari window dressing yang dilakukan Enron mulai terlihat pada pertengahan 2001 ketika sejumlah analis mulai menggali rincian laporan keuangan Enron yang dirilis secara publik.

Pada bulan Oktober 2001 Enron mengejutkan investor ketika mengumumkan bahwa mereka akan membukukan kerugian $638 juta untuk kuartal ketiga dan mengambil pengurangan $1,2 miliar dalam ekuitas pemegang saham. Tak lama kemudian, Securities and Exchange Commission (SEC) mulai menyelidiki transaksi SPE Enron. Ketika rincian penipuan akuntansi muncul, Enron jatuh bebas. Harga saham perusahaan anjlok dari $90 per saham pada pertengahan tahun 2000 menjadi kurang dari $12 pada awal November 2001. Bulan itu Enron berusaha menghindari bencana dengan menyetujui untuk diakuisisi oleh Dynegy. Namun, beberapa minggu kemudian Dynegy mundur dari kesepakatan. Berita tersebut menyebabkan saham Enron turun hingga dibawah $1 per saham, dengan membawa nilai pensiun 401K karyawan Enron, yang sebagian besar terkait dengan saham perusahaan. Pada tanggal 2 Desember 2001, Enron mengajukan perlindungan kebangkrutan (Bondarenko, P, 2016).

Bagaimana Legalitas Window Dressing?

Jika dilihat dari perspektif legalitas, Window Dressing adalah sebuah konsep yang ambiguous (Leung, 2019). Walaupun dianggap sebagai praktik yang tidak etis karena banyak mengandung unsur penipuan dan rekayasa, Window Dressing tidak sepenuhnya dipandang sebagai suatu hal yang illegal. Bagaimanapun juga, terdapat aturan-aturan dasar yang mengarahkan para akuntan untuk tetap patuh pada otoritas standar akuntansi seperti salah satunya yaitu Auditing Standards Board (ASB). Namun, seringkali terdapat banyak misinterpretasi atau kata yang lebih tepat adalah penyalahgunaan aturan tentang bagaimana para akuntan menggunakan otoritas standar akuntansi tersebut.

Perdebatan seringkali terjadi pada pemaknaan istilah akuntansi UK seperti ‘true and fair view’ (Hatherly et.al. 2008). Para akuntan dan auditor diminta untuk merancang laporan keuangan berdasarkan prinsip ‘true and fair view’, tetapi sebenarnya tidak benar-benar ada konsensus mengenai apa arti dari kata ‘true and fair view’ ini. Banyak pihak melakukan justifikasi bahwa prinsip ini dapat digunakan untuk menyelamatkan kondisi perusahaan demi mengejar target dan menyenangkan para klien dan investor walaupun hanya sementara. Di Indonesia, belum ada aturan yang secara langsung mengatur Window Dressing tetapi secara praktik sudah ada aturan-aturan yang mengatur hal tersebut walaupun secara tidak langsung, seperti UU Nomor tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pada pasal 1 angka 25 dinyatakan bahwa terdapat Prinsip Keterbukaan terutama pada rancangan laporan keuangan untuk mencegah terjadinya fraud (penipuan).

Upaya yang Dapat Dilakukan Investor Agar Terhindar dari Window Dressing

Tentunya sebagai seorang investor yang ingin memanfaatkan danya dengan baik maka sudah sejatinya mereka pasti akan memilih dengan cermat instrumen dan media investasi yang akan digunakan. Pada dasarnya, dengan adanya praktik window dressing yang kian hari semakin marak keberadaannya jika ingin menjadi investor yang ingin memaksimalkan pendanaannya maka terdapat pembelajaran dan karakteristik tertentu agar hal ini dapat terhindarkan. Window dressing membuat laporan keuangan yang sebenarnya menjadi kelabu akan kredibilitasnya dan mengundang kekhawatiran para investor. Hal ini sebenarnya dapat diidentifikasi melalui perspektif akuntansi yang dapat terlihat melalui analisis yang tepat dan perbandingan pada tiap financial statements yang dimiliki perusahaan. Terlepas dari hal itu, parameter keuangan dan komponen lainnya juga perlu ditinjau kembali untuk lebih memahami secara lebih mendalam keadaan dari bisnis yang sedang dijalankan oleh perusahaan.

Dalam artikel “Window Dressing in Accounting” yang ditulis oleh Anugraha G. terdapat beberapa metode untuk kita bisa mengidentifikasi praktek window dressing yang dilakukan oleh perusahaan. Diantaranya yaitu sebagai berikut:
· Peningkatan saldo kas dikarenakan pinjaman jangka pendek atau arus kas yang berasal dari aktivitas non-operasional. Maka dari tinjauan yang tepat harus dilakukan pada laporan arus kas untuk memeriksa aktivitas apa saja yang menyebabkan arus kas mengalir masuk.
· Terjadi kenaikan atau penurunan yang aneh atau tidak biasa pada salah satu saldo akun dan efek yang diakibatkannya pada sama dalam hal keuangan.
· Terdapat perubahan yang signifikan pada kebijakan akuntansi selama tahun berjalan, seperti perubahan dalam valuasi persediaan dan perubahan dalam melakukan metode penyusutan.
· Terjadi peningkatan penjualan yang cukup drastis dikarenakan penerapan diskon yang sangat besar dan sekaligus peningkatan pada hutang usaha.

Solusi Agar Praktek Window Dressing Dapat Diminimalisir

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohit Kanda pada judul “Window Dressing in Financial Practices,” terdapat beberapa alasan dan juga solusi penyelesaiannya mengenai praktek window dressing. Berikut ini adalah data-data hasil penelitian tersebut.

1) Bagaimana perusahaan merasa/beropini tentang alasan melakukan praktek window dressing

2) Bagaimana pihak auditor/akuntan merasa/beropini tentang alasan melakukan praktek window dressing

Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pihak perusahaan memilih untuk tidak memberikan komentar (No Comments) dan sebagian lagi beralasan bahwa praktik window dressing digunakan karena adanya pajak (tax). Berbeda pandang dari pihak auditor atau akuntan bahwa mereka mengatakan praktek window dressing dipakai karena adanya beban dari pajak (tax) yang diberikan oleh pemerintah, sisanya beralasan karena adanya Official Clearance dan memilih untuk tidak berkomentar.

3) Solusi terbaik untuk meminimalisir praktek window dressing bagi pihak perusahaan

4) Solusi terbaik untuk meminimalisir praktek window dressing bagi pihak auditor/akuntan

Berdasarkan data tersebut, sebagian besar sepakat bahwa solusi utama yang dilakukan adalah relaksasi pajak (tax relaxation) dari pemerintah kemudian yang kedua adalah dengan relaksasi peraturan (regulative relaxation). Menariknya, sebagian dari pihak perusahaan memilih untuk tidak perlu memberikan solusi pada praktik window dressing ini atau dengan kata lain mereka beranggapan bahwa praktik window dressing sudah lumrah atau lazim untuk dilakukan.

Sebagai kesimpulan, banyak pihak masih beradu argumen dan pandangan mengenai bagaimana kita menyikapi praktek window dressing yang tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian klien, investor, dan publik terkait kinerja perusahaan. Tapi tidak bisa kita pungkiri bahwa praktik window dressing hanya menguntungkan secara jangka pendek dan bahkan akan menambah beban jika dipraktikkan secara berkelanjutan. Alasan-alasan utama mereka para eksekutif dan akuntan melazimkan praktik ini adalah kompetisi antar bisnis yang intens, melebarkan kesempatan arus masuk uang, dan beratnya beban pajak yang dikenakan oleh pemerintah. Oleh karena itu,
penelitian mengenai relevansi antar alasan tersebut dan tindakan khusus diperlukan lebih lanjut agar praktek window dressing bisa diminimalisir kedepannya baik oleh akuntan, eksekutif perusahaan, dan auditor demi menciptakan laporang keuangan yang penuh kredibilitas.

Written by:

Research and Development Division

Emir Reza Pahlawan

emir.pahlawan@gmail.com

Legacy Sifra

legacysifras@gmail.com

Pranindiska Nurlistyo Naistana

pranindiskanurlistyon@gmail.com

Jonathan Adrian

jonathan.adrian@ui.ac.id

Published by:

Operation and Infrastructure Division

Sellyn Nayotama

sellyn.nayotama31@ui.ac.id