Published on September 25th, 2021

Sustainable Capital Market : For A Better Future?

Sekilas tentang Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan memiliki berbagai macam definisi. Namun, kutipan yang
paling banyak dikutip berasal dari buku “Our Common Future” oleh Brundtland Commission yang mengatakan bahwa, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan dan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi populer setelah dicetuskan oleh Komisi
Bruntland di bawah pimpinan Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlem Brundtland, yang bekerja sejak Oktober 1984 sampai dengan Maret 1987 dan melahirkan buku “Our Common Future”. Buku ini diterbitkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 (Ismid Hadad, 2010).

Konsep ini hampir sama dengan konsep dari keberlanjutan itu sendiri yaitu, istilah luas
yang menggambarkan pengelolaan sumber daya tanpa menghabiskannya untuk generasi
mendatang. Pada hakikatnya, pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan, selaras sekaligus meningkatkan potensi saat ini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama dalam pelaksanaannya, yaitu:

  1. Ekonomi yang Berkelanjutan
    Pilar ini berpusat pada gagasan penggunaan sumber daya secara efisien dan bertanggung jawab yang mengarah pada profitabilitas jangka panjang. Keberlanjutan ekonomi menyiratkan sistem produksi yang memenuhi tingkat konsumsi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa depan (Lobo, Pietriga, & Appert, 2015). Dernbach (2003) berpendapat bahwa, karena pertumbuhan penduduk, kebutuhan manusia seperti makanan, pakaian, perumahan meningkat, tetapi sarana dan sumber daya yang tersedia di dunia tidak dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan selamanya. Keberlanjutan ekonomi mengharuskan keputusan dibuat dengan cara yang paling adil dan sehat secara fiskal, sembari mempertimbangkan aspek keberlanjutan lainnya.
  2. Kehidupan Sosial yang Berkelanjutan
    Menurut Kolk (2016) keberlanjutan sosial bukan tentang memastikan bahwa kebutuhan setiap orang terpenuhi. Sebaliknya, tujuannya adalah menyediakan kondisi yang memungkinkan setiap orang memiliki kapasitas untuk mewujudkan kebutuhan mereka. Apapun yang menghambat kapasitas ini dianggap sebagai penghalang, dan perlu ditangani agar individu, organisasi, atau komunitas dapat mewujudkan keberlanjutan sosial (Brodhag & Taliere, 2006;Pierobon, 2019). Di atas segalanya, dalam pandangan Gray (2010) dan Guo (2017), keberlanjutan sosial juga mencakup berbagai isu seperti hak asasi manusia, kesetaraan dan kesetaraan gender, partisipasi publik dan supremasi hukum. Di mana, hal-hal tersebut mempromosikan perdamaian dan stabilitas sosial untuk pembangunan berkelanjutan.
  3. Keberlanjutan Lingkungan
    Konsep keberlanjutan lingkungan adalah tentang bagaimana lingkungan alam dapat tetap mendukung kehidupan manusia. Implikasinya adalah bahwa sumber daya alam harus dieksploitasi, tetapi tidak melebihi kemampuan alam untuk melakukan regenerasi, sedangkan limbah yang terbuang harus dimanfaatkan dengan baik dan tidak melewati batas kemampuan alam untuk menampung limbah tersebut. (Diesendorf, 2000; Evers, 2018). Dengan kata lain, kegiatan eksploitasi sumber daya alam dan pembuangan limbah harus dilakukan dengan batasan tertentu dan tidak merusak lingkungan alam secara masif. Pada tahun 2080, diperkirakan sekitar 20% pesisir pantai yang ada sekarang dapat hilang karena kenaikan permukaan laut (UNSD, 2018). Semua ini merupakan isu penting dari kelestarian lingkungan karena hal tersebut berimplikasi pada bagaimana agar lingkungan alam tetap stabil dan produktif untuk mendukung kehidupan manusia dan pembangunan.

Sumber: Rodrigues, Ana (2020)

Pasar Modal Berkelanjutan dan Investasi Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan sudah banyak diterapkan di segala bidang kehidupan. Hal ini
didukung dengan diadopsinya The Sustainable Development Goals (SDGs) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2015. SDGs merupakan ajakan kepada masyarakat di seluruh dunia untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi bumi, dan memastikan di tahun 2030 semua orang di dunia dapat hidup dengan damai dan sejahtera. SDGs berisi 17 tujuan yang mengakui bahwa tindakan di satu bidang akan memengaruhi hasil di bidang lain, dan pembangunan harus menyeimbangkan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Prinsip keberlanjutan telah menjadi isu yang utama dalam pembangunan manusia dan
ekonomi. Hingga saat ini, semakin banyak pihak yang sadar akan pentingnya prinsip
keberlanjutan. Dalam konteks korporasi, semakin banyak perusahaan yang berkomitmen untuk menggunakan energi bersih alih-alih dengan menggunakan energi kotor dalam kegiatan bisnisnya. Sebagai contoh, Tesla Motors menggunakan tenaga surya pada pabrik perakitannya sebagai sumber energi bagi kegiatan produksi. Dalam bidang sosial misalnya, sudah banyak orang yang mengampanyekan isu kesehatan mental bagi pekerja, termasuk kesetaraan gender di lingkungan kerja, menciptakan lingkungan yang inklusif dan multietnis di lingkungan kerja, menerima danmenghormati LGBT, dan lain sebagainya. Selain itu, perusahaan juga didorong untuk menerapkan transparansi dan akuntabilitas yang baik dalam kegiatan bisnisnya. Dalam hal ini, perusahaan dituntut untuk menerapkan tata kelola yang baik.

Konsep yang telah disebutkan diatas merupakan sebuah konsep yang dikenal sebagai
investasi berkelanjutan. Investasi berkelanjutan atau socially responsible investing (investasi yang bertanggung jawab secara sosial), atau juga ESG (Environmental, Social, Governance) investing, adalah cara berinvestasi di mana investor sangat mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (ESG) sebelum menyumbangkan uang dan sumber daya ke perusahaan atau usaha tertentu. Tujuannya adalah, bila memungkinkan, menggunakan modal yang diinvestasikan untuk mempromosikan dampak sosial yang positif, tanggung jawab perusahaan, dan pengembalian finansial jangka panjang. Investasi berkelanjutan memastikan bahwa perusahaan tidak hanya dinilai berdasarkan keuntungan finansial jangka pendek tetapi pada gambaran yang lebih luas tentang apa dan bagaimana mereka berkontribusi pada masyarakat luas. Investasi lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) adalah strategi yang dapat digunakan untuk menanamkan modal di perusahaan yang berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Investasi ESG bergantung pada peringkat independen yang membantu investor menilai perilaku dan kebijakan perusahaan dalam hal kinerja lingkungan, dampak sosial, dan masalah tata kelola. Penjelasan terkait dengan masing-masing aspek dari ESG, meliputi:

  1. Lingkungan
    Apa dampak perusahaan terhadap lingkungan? Ini dapat mencakup jejak karbon perusahaan, bahan kimia beracun yang terlibat dalam proses manufaktur, dan upaya keberlanjutan yang membentuk rantai pasokannya.
  2. Sosial
    Bagaimana perusahaan meningkatkan dampak sosialnya, baik di dalam perusahaan maupun di masyarakat luas. Faktor sosial mencakup semuanya, mulai dari kesetaraangender, keragaman ras baik di jajaran eksekutif maupun staf secara keseluruhan, sertaprogram inklusi dan praktik perekrutan. Bahkan melihat bagaimana sebuah perusahaanmengadvokasi kebaikan sosial di dunia yang lebih luas, di luar lingkup bisnisnya yang terbatas.
  3. Tata kelola
    Tentang bagaimana eksekutif perusahaan mendorong perubahan positif. Tata kelola mencakup segala sesuatu mulai dari masalah seputar gaji eksekutif hingga keragaman dalam kepemimpinan serta seberapa baik kepemimpinan itu merespons dan berinteraksi dengan pemegang saham.

Sumber: Motley Fool (2021) 

Pasar modal juga merupakan salah satu aspek perekonomian yang tak luput dari pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, banyak perhatian publik yang tertuju pada akan pembangunan berkelanjutan, yang mana hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi keputusan banyak korporasi besar untuk menjalankan operasional perusahaan mereka dengan berlandaskan pembangunan berkelanjutan, termasuk korporasi besar yang sudah terdaftar di bursa efek. Seperti misalnya, Bank Central Asia (BBCA) telah menjalankan program pembangunan berkelanjutan melalui Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka adakan, salah satunya adalah pelepasliaran orangutan. BCA turut berkontribusi pada pelestarian fauna Indonesia dengan memberikan dukungan donasi kepada Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo Foundation (Yayasan BOSF) sejak tahun 2012. Pada tahun 2019, BCA menyerahkan donasi Rp343 juta untuk mendukung kegiatan konservasi orangutan. Selain itu, Unilever Indonesia (UNVR) juga berprinsip pada pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan botol produk pada salah satu produk mereka dengan bahan 100% bahan daur ulang. Bahkan, mereka juga menanam 2000 karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk menciptakan ekosistem laut yang lebih baik. Dengan kata lain, semakin banyak perusahaan yang terdaftar pada bursa efek berprinsip pada pembangunan berkelanjutan maka dalam jangka panjang, pasar modal yang berkelanjutan pun dapat tercipta.

Pasar modal juga merupakan salah satu aspek perekonomian yang tak luput dari pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, banyak perhatian publik yang tertuju pada akan pembangunan berkelanjutan, yang mana hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi keputusan banyak korporasi besar untuk menjalankan operasional perusahaan mereka dengan berlandaskan pembangunan berkelanjutan, termasuk korporasi besar yang sudah terdaftar di bursa efek. Seperti misalnya, Bank Central Asia (BBCA) telah menjalankan program pembangunan berkelanjutan melalui Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka adakan, salah satunya adalah pelepasliaran orangutan. BCA turut berkontribusi pada pelestarian fauna Indonesia dengan memberikan dukungan donasi kepada Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo Foundation (Yayasan BOSF) sejak tahun 2012. Pada tahun 2019, BCA menyerahkan donasi Rp343 juta untuk mendukung kegiatan konservasi orangutan. Selain itu, Unilever Indonesia (UNVR) juga berprinsip pada pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan botol produk pada salah satu produk mereka dengan bahan 100% bahan daur ulang. Bahkan, mereka juga menanam 2000 karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk menciptakan ekosistem laut yang lebih baik. Dengan kata lain, semakin banyak perusahaan yang terdaftar pada bursa efek berprinsip pada pembangunan berkelanjutan maka dalam jangka panjang, pasar modal yang berkelanjutan pun dapat tercipta.

ESG sebagai Strategi Menciptakan Pasar Modal yang Berkelanjutan Dalam menciptakan lingkungan pasar modal yang berkelanjutan, perusahaan yang terdaftar di pasar modal memiliki pengaruh yang besar dalam hal ini. Para eksekutif perusahaan sekarang menganggap peluang ESG di pasar modal sangat luas, namun saling terkait. Itulah sebabnya salah satu bank investasi terbesar di dunia, Morgan Stanley, mendirikan ESG Center for Excellence pada Juni 2020 untuk mengkoordinasikan upaya keberlanjutan bagi klien di seluruh perbankan investasi dan pasar modal global. Morgan Stanley juga menyatakan bahwa pasar modal berada pada titik dimana perusahaan tidak dapat lagi mengabaikan pentingnya faktor ESG. Kinerja keuangan saham ESG baru-baru ini menarik perhatian investor. Selama gejolak pasar terkait pandemi Covid-19, banyak perusahaan dengan rekam jejak ESG yang kuat menunjukkan volatilitas yang lebih rendah daripada rekan-rekan non-ESG mereka. Bagi banyak investor, kinerja tersebut memvalidasi investasi ESG dan premisnya — bahwa perilaku perusahaan yang baik berarti hasil bisnis yang lebih baik. Selain saham perusahaan yang menerapkan prinsip ESG dengan baik, obligasi perusahaan mereka pun dapat dikatakan sebagai produk dari pasar modal yang berkelanjutan. Obligasi ini sering dikenal sebagai green bonds (obligasi hijau), dimana obligasi ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang ramah lingkungan dan/atau proyek- proyek yang menggunakan energi terbarukan dan mengurangi dampak negatif bagi lingkungan dari kegiatan bisnisnya, serta obligasi hijau diciptakan untuk mendanai proyek-proyek yang  memiliki manfaat lingkungan dan/atau iklim yang positif. 

Selain obligasi hijau, ada juga indeks saham hijau, yang berisikan perusahaan yang  menerapkan prinsip ESG dalam kegiatan bisnisnya. Tentunya, untuk menentukan sebuah  perusahaan bisa masuk ke dalam indeks saham hijau atau tidak, banyak pertimbangan dan  indikator yang harus dicapai. Di Indonesia sendiri, terdapat satu indeks saham yang berisikan  perusahaan-perusahaan yang dinilai sudah berpegang teguh pada prinsip keberlanjutan. Indeks itu  ialah indeks SRI-KEHATI. Yayasan KEHATI telah menerbitkan indeks hijau yang disebut  Sustainable and Responsible Investment (SRI) KEHATI Stock Index yang diluncurkan pada  tanggal 8 Juni 2009, dengan mengacu pada United Nations’ Principles for Responsible Investment (PRI) dan diterbitkan dengan bekerjasama dengan Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan standar  pemilihan perusahaan yang menerapkan prinsip Sustainable Responsible Investment (SRI), serta  prinsip lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG), Indeks SRI-KEHATI kini menjadi satu-satunya acuan prinsip investasi yang menekankan pada isu ESG di Indonesia. Melalui indeks SRI KEHATI, KEHATI berupaya menciptakan mutualisme antara dunia konservasi dan dunia usaha.  Tahapan penyaringan dalam proses seleksi penyusun indeks SRI-KEHATI adalah sebagai berikut: 

Gambar 3. Kriteria Seleksi Saham agar dapat Terdaftar di Indeks SRI-KEHATI 

Sumber: Kehati Foundation 

Saat ini, indeks SRI-KEHATI terdiri dari 25 saham perusahaan publik yang tercatat di BEI,  yang komposisinya ditinjau dan diperbaharui pada bulan Mei dan November setiap tahunnya.  Sejak diluncurkan, secara historis indeks ini menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan  beberapa indeks utama seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), LQ45, JII, dan sebagainya. 

Sumber: Kehati Foundation

Gambar 4. Perbandingan Kinerja Indeks SRI-KEHATI dengan IHSG dan LQ45

Selain itu, Nasdaq, bursa saham Amerika Serikat yang berbasis di New York City, juga  memiliki indek saham hijaunya sendiri. Nasdaq menyediakan indeks lingkungan, yang dikenal  sebagai Indeks “Hijau”. Indeks ini terdiri dari perusahaan yang berbisnis untuk meningkatkan  pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pengurangan penggunaan karbon, yaitu antara lain: 

Benchmark Index (QGREEN) 

Sumber: Nasdaq 

Gambar 5. Kriteria Perusahaan yang Terdaftar di Indeks Nasdaq Green Economy Global  

Salah satu indeks saham hijau di Nasdaq adalah Nasdaq Green Economy Global  Benchmark Index (QGREEN). Ini dirancang untuk bertindak sebagai indikator kinerja saham yang  mencakup bidang-bidang seperti efisiensi energi, bahan bakar bersih, pembangkit energi  terbarukan, sumber daya alam, air, mitigasi polusi, dan material canggih. 

Sumber: Google

Gambar 6. Kinerja Indeks NASDAQ QMX Green Economy 

Dengan banyaknya perusahaan terdaftar di bursa efek yang berpegang teguh pada prinsip  ESG, indeks saham hijau yang sudah banyak dibuat oleh berbagai bursa efek di dunia, obligasi  hijau yang semakin banyak diterbitkan untuk mendanai proyek-proyek yang memiliki manfaat  lingkungan dan/atau iklim yang positif, maka pasar modal berkelanjutan pun akan dapat tercipta  untuk dunia yang lebih ramah lingkungan dan tentunya untuk dunia yang lebih baik bagi generasi  masa depan. 

Aspek Lingkungan dalam ESG 

Dalam aspek ESG, setidaknya terdapat tiga hal utama yang menjadi fokus, yaitu  environment (lingkungan), social (sosial), dan governance (tata kelola). Ketiga aspek ini  merupakan aspek yang paling dasar dalam menciptakan iklim bisnis dan pasar modal yang lebih  berkelanjutan. 

Pada aspek lingkungan, apa yang dilihat dari aspek ini dapat termasuk penggunaan energi  oleh perusahaan untuk menjalankan operasionalnya sehari-hari, apakah sudah menggunakan  energi terbarukan, atau masih menggunakan energi kotor, bagaimana perusahaan mengelola  limbah industrinya dengan memperhatikan lingkungan hidup (jika perusahaan memiliki kegiatan  operasional yang menghasilkan limbah), apakah perusahaan menggunakan hewan dalam kegiatan  penelitian dan pengembangannya (biasanya bagi perusahaan farmasi dan kosmetik, untuk  pengujian obat-obatan dan bahan kimia pada perangkat rias kecantikan mereka), dan bagaimana  perusahaan berkomitmen pada pelestarian lingkungan melalui berbagai upaya yang dapat  dilakukan, seperti melalui CSR (Corporate Social Responsibility). 

Kriteria ini juga dapat digunakan dalam mengevaluasi risiko lingkungan yang mungkin  dihadapi perusahaan dan bagaimana perusahaan mengelola risiko tersebut. Termasuk didalamnya  bagaimana perusahaan dapat melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) ketika  perusahaan merencanakan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan dampak terhadap  lingkungan hidup di sekitarnya.  

Salah satu perusahaan manajemen aset, Trillium Asset Management, membuat kriteria  perusahaan yang dinilai tidak memenuhi aspek pemeliharaan lingkungan hidup dalam ESG, yaitu:

1. Perusahaan yang beroperasi di area berisiko tinggi atau memiliki paparan terhadap  pertambangan batu bara atau batuan keras, tenaga nuklir atau batubara, penjara swasta,  bioteknologi pertanian, tembakau, pasir tar, atau senjata dan senjata api. 

2. Perusahaan yang memiliki kontroversi besar atau baru-baru ini dengan hak asasi manusia,  kesejahteraan hewan, masalah lingkungan, masalah tata kelola, atau keamanan produk. Trillium Asset Management juga mempertimbangkan perusahaan yang diperkirakan layak  

dinilai sebagai perusahaan yang berpegang teguh pada aspek pemeliharaan lingkungan dalam  ESG, yaitu: 

1. Perusahaan yang membuat laporan keberlanjutan dan/atau laporan atas penggunaan karbon  dalam kegiatannya 

2. Membatasi polutan dan bahan kimia berbahaya dalam kegiatan bisnisnya 3. Berkomitmen dalam menurunkan emisi gas rumah kaca 

3. Menggunakan energi baru dan terbarukan. 

Aspek Sosial dalam ESG 

Suatu investasi yang berkelanjutan juga perlu untuk memperhatikan aspek sosial. Aspek  sosial pada ESG melihat bagaimana hubungan antara perusahaan dengan para pemangku  kepentingan (stakeholders). Pada aspek ini, investor dan perusahaan mempertimbangkan beberapa  isu sosial. Isu sosial tersebut mencakup bagaimana perusahaan memperhatikan isu kesamaan  pekerja dan gender, hak dasar, kesehatan dan keselamatan pekerja, pelatihan dan pengembangan,  masalah dan tanggung jawab keamanan produk, hingga isu kesehatan fisik serta mental. Namun,  berbeda dengan aspek lainnya, aspek sosial dari suatu perusahaan cenderung sulit untuk dinilai.  Salah satu hal yang menyebabkan kesulitan bagi investor untuk menilai aspek sosial adalah belum  adanya kesepakatan bersama mengenai definisi dan pengukuran mengenai suatu perusahaan yang  dapat dikatakan berkinerja baik dalam aspek sosial nya (DWS, 2020). Sebagai contoh, sebuah  perusahaan di Jerman lebih dinilai baik dalam aspek sosial apabila perusahaan menaruh perhatian  yang besar pada pemberian dan perlindungan hak asasi dan tidak mendukung adanya pekerja anak.  Di lain pihak, Britania Raya justru lebih menekankan perusahaan untuk memperhatikan isu  keberagaman dalam lingkungan kerja. 

Kesulitan dalam menilai aspek sosial karena tidak adanya konsensus mengenai definisi dan  ukuran suatu perusahaan berkinerja baik dalam aspek sosial, tidak serta-merta membuat investor  tidak dapat memilih mana perusahaan yang secara relatif jauh lebih baik dalam memperhatikan  aspek sosial. Investor dapat melakukan positive dan negative screens pada kinerja sosial  perusahaan. Positive screens digunakan untuk mencari perusahaan yang berkinerja baik dalam hal  pemenuhan standar tenaga kerja internasional dan harapan dari seluruh pemangku kepentingan  (stakeholders). Memberikan tunjangan yang kompetitif, mempekerjakan para pekerja lokal,  hingga turut andil dalam penyelesaian masalah yang menjerat masyarakat di sekitar nya menjadi  beberapa contoh perusahaan yang berkinerja baik secara sosial. Adapun negative screens digunakan untuk mengecualikan perusahaan yang dalam kegiatan operasional nya menghasilkan  tingkat risiko yang tidak dapat diterima secara sosial. Sebagai contoh, perusahaan yang  mendapatkan bahan baku dari pemasok yang mempekerjakan pekerja anak dan memberi upah  yang tidak kompetitif menjadi “sinyal” kuat bahwasanya perusahaan tidak berkinerja baik secara  sosial.  

 Perlu diingat bahwasanya aspek sosial cukup memegang peranan yang penting dalam  menentukan kinerja suatu perusahaan. Studi yang dilakukan oleh Alfonso Del Giudice di Milan  menghasilkan kesimpulan bahwa aspek sosial menjadi sangat penting untuk manajemen risiko.  Del Giudice melakukan studi dengan menganalisis 1.000 perusahaan dari 18 negara yang berbeda-beda selama 14 tahun dan menemukan hasil bahwa standar sosial yang tinggi dari suatu perusahaan  mampu mengurangi risiko sistematis. Pengurangan risiko sistematis ini dapat menjadi “angin  segar” bagi perusahaan, karena beberapa investor dapat dengan mudah membuat portofolio yang  relatif tidak terlalu volatil terhadap perubahan pasar.  

Aspek Tata Kelola dalam ESG 

Lebih jauh, investor dan perusahaan juga perlu untuk mempertimbangkan aspek tata kelola.  Aspek tata kelola itu sendiri mencakup struktur organisasi dari perusahaan, standar yang  ditetapkan perusahaan, pengungkapan informasi kepada publik, audit, dan kepatuhan perusahaan.  Perusahaan dikatakan relatif memiliki kinerja yang baik dalam tata kelola apabila perusahaan  menjunjung tinggi transparansi (terutama berkaitan dengan metode akuntansi yang digunakan),  memberikan kesempatan untuk bersuara kepada para pemegang saham dalam isu yang cukup 

krusial bagi perusahaan, dan tidak ada konflik kepentingan antara pemegang saham dan  manajemen. Tidak menggunakan politik yang merugikan untuk mencapai tujuan tertentu dan tidak  terlibat dalam praktik yang melanggar secara hukum juga menjadi suatu indikasi bahwasanya  suatu perusahaan memiliki kinerja yang baik dalam tata kelola. 

Investor, sebelum menempatkan dananya pada perusahaan tertentu, dapat melakukan  positive maupun negative screens untuk menyeleksi perusahaan mana yang memiliki kinerja baik  dalam aspek tata kelola. Positive screens dapat digunakan untuk memilih perusahaan mana yang  memiliki transparansi yang cukup tinggi terhadap kebijakan dan praktik yang dilakukan  perusahaan. Sementara itu, negative screens lebih digunakan untuk mengecualikan perusahaan  yang kebijakan dan prakteknya melanggar hukum.  

Investor cenderung lebih mudah untuk menilai bagaimana kinerja perusahaan dari aspek  tata kelola dibandingkan dengan aspek sosial. Kemudahan tersebut disebabkan karena hal-hal yang  berkaitan dengan tata kelola seringkali diberitakan oleh media kepada publik. Umumnya, media  cenderung memberitakan perusahaan dengan salah tata kelola yang cukup fatal. Adanya jenis  pemberitaan tersebut pada gilirannya mampu membantu investor untuk melakukan negative  screens

Aspek tata kelola relatif lebih sering diperhatikan dibandingkan dengan aspek lingkungan  dan sosial dalam menilai apakah suatu perusahaan telah berkinerja secara berkelanjutan atau  belum. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hasil survei yang dilakukan oleh CFA Institute (2015)  dengan melakukan survei terhadap 1.325 responden dengan margin of error, di mana 78%  responden mempertimbangkan aspek tata kelola – akuntabilitas dewan – sebagai aspek pertama  yang dipertimbangkan dalam mengevaluasi keberlanjutan dari suatu perusahaan.  

Bagaimana Dampak dari Adanya Pasar Modal yang Berkelanjutan? 

Strategi investasi yang memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan juga tata kelola pada  gilirannya dapat membantu terciptanya investasi yang berkelanjutan. Investasi yang berkelanjutan  sudah terbukti memiliki dampak yang positif bagi investor maupun masyarakat secara  keseluruhan. Studi yang dilakukan oleh MSCI menunjukkan bahwa investasi berkelanjutan jauh  lebih menguntungkan bagi investor ketimbang investasi konvensional. Investor juga umumnya  diuntungkan dengan adanya fakta bahwa perusahaan yang menerapkan investasi berkelanjutan umumnya akan memberikan dividen pada tingkat yang tinggi. Tingkat risiko sistematis yang  dihadapi oleh investor juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat risiko pada investasi  konvensional. Hal tersebut juga diperkuat oleh temuan dari Morgan Stanley, yang menganalisis  10.723 dana dengan menggunakan data Morningstar di bursa yang diperdagangkan dan reksa dana  terbuka yang aktif dalam kurun waktu 2004-2018. Dari analisis yang dilakukan, Morgan Stanley  berkesimpulan bahwa dana yang menerapkan prinsip investasi berkelanjutan memiliki tingkat  risiko yang jauh lebih rendah sebesar 20% dibandingkan dengan dana yang tidak menerapkan  prinsip investasi berkelanjutan (Morgan Stanley, 2019). Bagi masyarakat secara keseluruhan,  hadirnya investasi yang berkelanjutan tidak dimungkiri memiliki peran yang cukup signifikan  dalam mendorong terciptanya hasil yang positif terhadap kondisi lingkungan dan sosial  (Boughton, Noelle, 2021). 

Investasi yang berkelanjutan tersebut pada gilirannya juga akan mendorong terjadinya  pasar modal yang lebih berkelanjutan. Pasar modal berkelanjutan menjadi penting untuk  diperhatikan. Semakin berkelanjutan suatu pasar modal, maka semakin besar pula kontribusi pasar  modal dalam mendukung agenda pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh PBB  bersama dengan seluruh negara anggota nya di tahun 2015. Bukan menjadi hal yang tidak mungkin  kedepannya, bahwa pasar modal yang berkelanjutan dapat menjadi salah satu katalisator dalam  mencapai agenda pembangunan berkelanjutan. 

Bagaimana Perkembangan Terkini dari Investasi Berkelanjutan dan Pasar Modal  Berkelanjutan? 

Penerapan strategi ESG dalam menciptakan investasi berkelanjutan bukanlah hal baru.  Banyak investor yang sudah mempertimbangkan aspek non-ekonomi (aspek sosial dan tata kelola)  dalam melakukan analisis fundamental terhadap suatu perusahaan. Contoh dari aspek non ekonomi yang telah dipertimbangkan pada saat itu adalah memperhitungkan risiko reputasi  perusahaan hingga tren sosial yang pada saat itu sedang berkembang juga turut dipertimbangkan.  Beberapa bagian dari strategi ESG itu sendiri pada dasarnya sudah dipertimbangkan dalam  kerangka kerja Porter’s Five Forces. Namun, perlu dicatat bahwasanya hal tersebut tidak secara  langsung menyebabkan strategi ESG menjadi tidak relevan untuk digunakan dalam menciptakan  investasi berkelanjutan. Strategi ESG merupakan komplemen dari analisis fundamental yang bersifat tradisional. Sehingga, dapat dikatakan dalam mengambil keputusan investasi, investor  diharapkan untuk tetap melakukan analisis fundamental tradisional dan juga membaurkan strategi  ESG dalam keputusan investasi nya.  

 Meskipun strategi ESG hingga saat ini masih diperdebatkan karena adanya kesulitan untuk  memberikan nilai moneter terhadap isu yang ada pada ESG, strategi ESG dewasa kini semakin  banyak digunakan oleh investor. Kesadaran investor yang semakin meningkat akan pentingnya  penerapan strategi ESG dapat dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah daftar  penandatangan Principles for Responsible Investment (PRI) yang didukung oleh PBB.  Penandatanganan PRI ini menjadi salah satu bukti komitmen investor yang telah membaurkan isu-isu ESG ke dalam pengambilan keputusan investasi mereka. Dikutip dari CFA Institute (2015),  aset yang dikelola oleh PRI dari para penandatangan nya meningkat signifikan dari tahun ke tahun.  Semula pada tahun 2006 Asset Under Management (AUM) hanya bernilai $6 triliun. Namun, pada  tahun 2015 nilai AUM sudah mencapai hampir $60 triliun.  

Hasil survei yang dilakukan Morgan Stanley di tahun 2019 juga mengkonfirmasi hal yang  sama, di mana terjadi peningkatan kesadaran investor akan investasi berkelanjutan. Berdasarkan  hasil survei, 80% responden yang merupakan pemilik aset mengatakan bahwa mereka telah  mengintegrasikan investasi berkelanjutan. Hasil tersebut tentunya berbeda dengan tahun 2017, di  mana pada tahun tersebut responden yang telah mengintegrasikan investasi berkelanjutan hanya  mencapai 70% dari total responden yang ada. Dengan kata lain, terbukti terjadi peningkatan 10%  jumlah pemilik aset yang telah membaurkan keputusan investasi nya dengan prinsip investasi  berkelanjutan.  

Tidak hanya kesadaran akan investasi berkelanjutan yang meningkat, kesadaran akan  pentingnya pasar modal yang berkelanjutan juga meningkat di berbagai belahan dunia, tidak  terkecuali dengan negara-negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nation  (ASEAN). Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN telah membentuk ASEAN Capital  Market Forums (ACMF) pada tahun 2004 yang terdiri dari para regulator pasar modal di 10 negara  anggota ASEAN. ACMF dalam perjalanannya telah menunjukkan komitmennya terhadap  penciptaan ekosistem pasar modal pada anggota ACMF yang terintegrasi. Lebih jauh, akhir-akhir  ini anggota dari ACMF telah menyepakati suatu kesepakatan bahwasanya semua negara yang  tergabung dalam ACMF akan memprioritaskan terciptanya perkembangan ekosistem pasar modal yang terbuka dan dinamis serta memfasilitasi dan memobilisasi modal dari sektor privat yang  digunakan untuk membiayai proyek-proyek berkelanjutan. 

Sebagai bukti nyata untuk mendukung tercapainya kesepakatan tersebut, anggota ACMF  telah mengembangkan roadmap yang berisikan arahan strategis kepada negara-negara anggota  ACMF dalam mencapai tujuan pasar modal yang berkelanjutan. Roadmap ini setidaknya memiliki  empat bidang prioritas utama. Empat bidang tersebut adalah penguatan fondasi untuk pasar modal  yang berkelanjutan, pengkatalisasian pengembangan produk dan peningkatan akses ke daerah  yang kurang terlayani, peningkatan kesadaran dan pembangunan kapasitas, serta peningkatan  konektivitas regional. Lebih jauh, ACMF secara eksplisit menyatakan bahwasanya meskipun  roadmap tersebut telah ditetapkan, ACMF berkomitmen untuk terus memantau bagaimana lanskap  pasar modal yang berkelanjutan bergerak dari waktu ke waktu. ACMF menguraikan bahwa  roadmap tersebut dapat diibaratkan sebagai “living document”, di mana sangat memungkinkan di  masa mendatang bagi ACMF untuk mempertimbangkan ide-ide yang belum tertuang ke dalam  roadmap untuk dibaurkan ke dalam roadmap

Pada akhirnya, perkembangan investasi berkelanjutan dan pasar modal berkelanjutan yang  terus menunjukkan progres nya dari waktu ke waktu menimbulkan pertanyaan tersendiri.  Akankah pasar modal di masa mendatang mampu menjadi salah satu katalisator dalam  mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan?

Bibliography: 

ACMF. Roadmap for ASEAN Sustainable Capital Markets. Retrieved from  https://www.theacmf.org/images/downloads/pdf/ACMF_Roadmap_high.resolutio n.pdf 

BCA. Pelestarian Lingkungan. Retrieved September 22, 2021, from  https://www.bca.co.id/id/tentang-bca/CSR/Bakti-BCA/solusi-sinergi 

bca/pelestarian-lingkungan 

Boffo, R., and R. Patalano. (2020). ESG Investing: Practices, Progress and Challenges,  OECD Paris. Retrieved from www.oecd.org/finance/ESG-Investing-Practices Progress-and-Challenges.pdf  

Boughton, Noelle. (2021). What Are Responsible Investment’s Benefits? And Why do  They Matter?. Retrieved September, 21, 2021, from  https://www.wealthprofessional.ca/news/industry-news/what-are-responsible investments-benefits-and-why-do-they-matter/359003 

CFA Institute. (2015). Environmental, Social, and Governance Issues in Investing, A  Guide for Investment Professionals. Retrieved from https://www.cfainstitute.org/- /media/documents/article/position-paper/esg-issues-in-investing-a-guide-for investment-professionals.ashx 

DWS. (2019). MSCI Investigates: What Are the Real Advantages of Sustainable Investing.  Retrieved September, 21, 2021, from https://www.dws.com/insights/investment topics/MSCI-what-are-the-real-advantages-of-sustainable-investing/ 

DWS. (2020). The “S” in ESG: Hard to Grasp but Important for Risk Management.  Retrieved September, 21, 2021, from https://www.dws.com/insights/investment topics/the-social-component-of-ESG/ 

Investopedia. (2021). Environmental, Social, and Governance (ESG) Criteria. Retrieved  September, 21, 2021, from https://www.investopedia.com/terms/e/environmental social-and-governance-esg-criteria.asp 

Keeble, B. R. (1988). The Brundtland Report: “Our Common Future.” Medicine and War,  4(1), 17–25. https://doi.org/10.1080/07488008808408783

Kehati Foundation. INDEX SRI-KEHATI. Retrieved September 22, 2021, from  https://www.kehati.or.id/en/index-sri-kehati-2/ 

Lea, Hoare. (2021). The Rise of the “S” in ESG Reporting. Retrieved September, 20, 2021,  from https://gresb.com/the-rise-of-the-s-in-esg-reporting/ 

Lomax, A. (2021). What is ESG Investing & What Are ESG Stocks? The Motley Fool.  Retrieved September 22, 2021, from https://www.fool.com/investing/stock market/types-of-stocks/esg-investing/ 

Maryville University. Sustainability vs. Sustainable Development: Examining Two  Important Concepts. Retrieved September 22, 2021, from  https://online.maryville.edu/blog/sustainability-vs-sustainable-development/%0A 

Mensah, J. (2019). Sustainable development: Meaning, history, principles, pillars, and  implications for human action: Literature review. Cogent Social Sciences, 5(1),  1653531. https://doi.org/10.1080/23311886.2019.1653531 

Morgan Stanley. (2019). Sustainable Investing’s Competitive Advantages. Retrieved  September, 21, 2021, from https://www.morganstanley.com/ideas/sustainable investing-competitive-advantages 

Morgan Stanley. (2020). 7 Insight from Asset Owners on the Rise of Sustainable Investing.  Retrieved September, 21, 2021, from  https://www.morganstanley.com/ideas/sustainability-investing-institutional-asset owners 

Morgan Stanley. (2021). ESG´s Emerging Leading Role in Capital Markets. Morgan  Stanley. Retrieved September 22, 2021, from  https://www.morganstanley.com/ideas/corporate-esg-capital-markets 

Motley Fool. (2021). What is ESG Investing & What Are ESG Stocks?. Retrieved  September, 22, 2021, from https://www.fool.com/investing/stock-market/types-of stocks/esg-investing/ 

Nasdaq. Green Equity Indexes. Retrieved September 22, 2021, from  https://www.nasdaq.com/solutions/green-equity-indexes

Qtrade. The G in ESG: Why Governance Matters to Investors. Retrieved September, 21,  2021, from https://www.qtrade.ca/en/investor/education/investing-articles/new-to investing/esg-portfolios-3.html 

Qtrade. The S in ESG: Why Investors Should Care About a Company’s Social Impact.  Retrieved September, 21, 2021, from  https://www.qtrade.ca/en/investor/education/investing-articles/new-to investing/esg-portfolios-2.html 

Rodrigues, Ana. (2020). What Are the Pillars of Sustainability and How I Can Explain it?.  Retrieved from https://www.quora.com/What-are-the-pillars-of-sustainability and-how-can-I-explain-it 

Sisto, Al. (2020). What is ESG and its Three Pillars?. Retrieved September, 21, 2021, from  https://www.ternplc.com/blog/what-is-esg-and-its-three-pillars 

Stobierski, T. WHAT IS SUSTAINABLE INVESTING? Harvard Business School Online.  Retrieved September 22, 2021, from https://online.hbs.edu/blog/post/sustainable investing 

Suparmoko, M. (2020). Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional dan Regional. Jurnal  Ekonomika dan Manajemen, 9(1), 39–50. 

Unilever Indonesia. Tiap Love Beauty & Planet Gunakan 100% Botol Daur Ulang.  Retrieved September 22, 2021, from https://www.unilever.co.id/about/setiap-u beri-kebaikan/love-beauty-planet/

Written by:

Research and Development Division

Dandy Rizky Wibowo
dandy.rizky@ui.ac.id

Ginung Rizky Shaumi
ginungrizkyshaumi@gmail.com

Published by:

Operation and Infrastructure Division

Muhammad Ihsan
muhammad.ihsan38@ui.ac.id