Published on May 11th, 2024

Trump’s “Liberation Day” Announcement : Tarif Impor AS, Ancaman Ekonomi Global

Pada hari Rabu, 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara resmi mengumumkan tarif timbal balik (reciprocal tariffs) besar-besaran terhadap lebih dari 60 negara di seluruh dunia. Kebijakan ini secara simbolik disebut sebagai “Liberation Day”. Dua belas hari sebelum pengumuman resmi tersebut, Trump menyatakan bahwa langkah ini merupakan bentuk pembebasan ekonomi bagi Amerika Serikat: “Liberation Day for our country because we’re going to be getting back a lot of the wealth that we so foolishly gave up to other countries.” Pernyataan ini mencerminkan keyakinan Trump bahwa Amerika Serikat selama ini telah mengalami kerugian ekonomi akibat ketidakseimbangan perdagangan internasional yang merugikan pihak AS.

Pada tahun 2024, defisit perdagangan Amerika Serikat meningkat sebesar 13% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai $918,4 miliar. Defisit perdagangan barang tahunan yang besar dan terus- menerus ini telah menyebabkan pengosongan basis manufaktur di Amerika Serikat, berkurangnya insentif untuk meningkatkan kapasitas manufaktur dalam negeri yang maju, serta meningkatnya ketergantungan terhadap barang impor. Negara-negara dengan defisit perdagangan terbesar terhadap Amerika Serikat antara lain Tiongkok (sekitar $295 miliar), disusul oleh Meksiko dan Vietnam. Sebagai respons terhadap memburuknya ketidakseimbangan neraca perdagangan dan untuk melindungi industri nasional, pemerintahan Trump memberlakukan kebijakan tarif baru dengan dua pendekatan utama: tarif minimum (baseline tariff) sebesar setidaknya 10% terhadap sebagian besar negara, serta tarif timbal balik yang dikenakan terhadap negara-negara yang dianggap menerapkan hambatan perdagangan tida adil terhadap ekspor AS, termasuk tarif tinggi dan hambatan non-tarif. Kenaikan tarif impor ini telah memicu gelombang kejutan di seluruh pasar global dan menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi lanjutan dalam bentuk perang dagang. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif kebijakan tarif yang diterapkan Amerika Serikat, memberikan penjelasan mendalam mengenai kebijakan tarif Trump, menelaah latar belakang ekonomi dan politik dari kebijakan tersebut, serta mendiskusikan implikasinya terhadap perekonomian global dan Indonesia.

Gambar 1: Defisit Perdagangan US dengan negara lain (U.S. Census and Bureau of Economic Analysis)

Perkenalan Tarif Trump

Tarif Trump adalah kebijakan pengenaan pajak tambahan terhadap barang-barang impor yang berasal
dari luar negeri. Tarif ini juga mencakup reciprocal tariff, yaitu tarif yang dikenakan sebagai balasan terhadap negara-negara yang memberlakukan tarif tinggi atau hambatan perdagangan yang tidak adil terhadap ekspor Amerika Serikat. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan kenaikan tarif sebesar minimal 10% untuk sebagian besar barang impor, dengan penyesuaian untuk sektor tertentu, seperti industri otomotif, yang dikenakan tarif lebih tinggi sebesar 25%.

Meskipun kebijakan tarif ini luas, ada pengecualian terhadap lebih dari 1.000 kategori produk, termasuk barang-barang esensial dan strategis, seperti produk farmasi, semikonduktor, kayu, logam industri, dan bahan kimia. Pengecualian ini bertujuan untuk menjaga stabilitas pasokan dalam negeri dan menghindari disrupsi pada sektor-sektor kritis serta rantai pasok global yang bergantung pada input impor. Namun, mobil-mobil asing, suku cadang mobil, baja, dan aluminium akan dikenakan tarif impor
universal sebesar 25%, yang mulai berlaku pada 3 April 2025.

Pada hari yang sama, Presiden Trump juga mengesahkan perintah eksekutif untuk menghapus kebijakan “de minimis provision” yang berlaku untuk Hong Kong dan Tiongkok, yang mulai berlaku pada 2 Mei Kebijakan “de minimis provision” adalah kebijakan pengecualian pajak terhadap barang-barang yang bernilai $800 atau kurang, yang sebelumnya telah membantu Tiongkok mendirikan perusahaan- perusahaan seperti Shein dan Temu untuk bersaing di pasar ritel Amerika Serikat. Kebijakan lama ini
telah digambarkan oleh politisi, lembaga penegak hukum, dan kelompok bisnis AS sebagai celah perdagangan yang memberikan keuntungan bagi barang-barang murah dari Tiongkok, serta berfungsi sebagai pintu gerbang bagi barang-barang ilegal dan palsu. Setelah penghapusan kebijakan ini, produk
Tiongkok yang dikirim melalui jaringan pos internasional akan dikenakan tarif bea sebesar 30% atau $25 per item, yang akan meningkat menjadi $50 per item setelah 1 Juni 2025 (How to handle US Tiongkok tariffs and the end of de minimis – Avalara). Penghapusan kebijakan ini diperkirakan akan berdampak negatif pada industri fast-fashion besar di Amerika Serikat, dengan konsumen yang membeli barang dari e-commerce Tiongkok seperti Shein dan Temu menghadapi kenaikan harga dan pengiriman yang lebih lambat

Di sisi lain, pemerintahan Trump menunjukkan pendekatan yang lebih akomodatif terhadap negara-negara anggota USMCA (United States-Mexico-Canada Agreement) dengan memberikan pengecualian dari tarif tambahan, untuk menjaga hubungan dagang yang kuat di Amerika Utara. Kenaikan tarif minimal 10% akan diberlakukan mulai 5 April 2025, sementara tarif timbal balik (reciprocal tariff) akan mulai berlaku pada 9 April 2025. Negara-negara yang hanya akan dikenakan tarif minimum termasuk
Inggris, Singapura, Brasil, Australia, Selandia Baru, Turki, Kolombia, Argentina, El Salvador, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Sebaliknya, White House mengumumkan bahwa tarif timbal balik akan dikenakan kepada negara-negara yang disebut sebagai “worst offenders,” yakni negara-negara yang dianggap mengenakan tarif impor tinggi terhadap Amerika Serikat, memaksakan hambatan non-tarif pada perdagangan AS, atau bertindak dengan cara yang merugikan tujuan ekonomi Amerika. Negara-negara ini akan dikenakan tarif lebih tinggi, hingga 50%, seperti Kamboja, Vietnam, dan Malaysia.

Gambar 2: Grafik Neraca Perdagangan AS dengan Mitra Dagang Utama di tahun 2024 (Trump’s Tariff War, Samuel Sekuritas Indonesia

Gambar 3: Daftar negara yang dikenakan reciprocal tariff (CNBC)

Pada tanggal 9 April 2025, beberapa jam setelah diberlakukannya reciprocal tariff, untuk memberikan kesempatan negosiasi dengan beberapa negara, Trump mengumumkan penghentian sementara selama 3bulan terhadap semua tarif timbal balik, kecuali untuk Tiongkok. Tarif impor yang sebelumnya ditetapkan lebih dari 10% terhadap berbagai negara mitra dagang diturunkan menjadi 10%, sebagai bentuk penghargaan atas sikap kooperatif negara-negara tersebut yang tidak menerapkan kebijakan tarif balasan terhadap Amerika Serikat. Keputusan ini diambil setelah Trump mengklaim bahwa sejak pengumuman kebijakan reciprocal tariff pada 2 April 2025, lebih dari 75 negara telah menghubungi pejabat pemerintah Amerika Serikat untuk membuka jalur negosiasi, termasuk Vietnam yang menyatakan kesediaannya untuk menghapus seluruh tarif impornya terhadap produk Amerika Serikat.
Di sisi lain, perang dagang terus memanas antara Tiongkok dengan Amerika Serikat. Pada hari yang sama, Presiden Trump menambah reciprocal tariff menjadi sebesar 145%, setelah Tiongkok menaikkan tarif impor terhadap produk AS menjadi 84%. Langkah ini mencerminkan semakin intensifnya konflik dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut.

Latar Belakang Munculnya Tariff Trump

Terdapat beberapa latar belakang di balik kemunculan Tarif Trump ini. Salah satunya adalah sebagai bentuk pembalasan karena selama ini mitra dagang seperti China mengalami surplus perdagangan, sementara AS mengalami defisit saat bermitra dengan negara-negara tersebut, yang mengakibatkan
penurunan kapasitas industri manufaktur di AS. Contohnya, pada tahun 2024, defisit perdagangan AS dengan Tiongkok mencapai $295,401.6 juta.

Alasan lainnya adalah kebergantungan AS terhadap produk impor, yang semakin terlihat jelas selama Pandemi Covid-19, bahkan untuk barang-barang esensial sekalipun. Sebagai contoh, AS sangat bergantung pada produsen global untuk barang-barang medis seperti alat pelindung diri (PPE), perangkat medis, dan obat-obatan. Tiongkok, khususnya, merupakan pemasok terbesar bagi AS untuk barang medis, memasok lebih dari 70% impor masker wajah tekstil, 55% kacamata pelindung, dan 55%
pakaian pelindung pada tahun 2019. Oleh karena itu, Trump menilai bahwa kapasitas industri domestik perlu diperkuat demi keamanan nasional, untuk mengantisipasi kemungkinan gangguan pasokan global di masa depan.

Selain itu, Tarif Trump juga dilatarbelakangi oleh pengaruh dari krisis utang AS. Trump berargumen bahwa kebijakan tarif ini dapat menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi negara, yang akan digunakan untuk membantu mengurangi utang nasional.

Gambar 4: Public debt of the United States from October 2013 to October 2024 (in billion U.S. dollars) (Statista)

Dampak Kebijakan Tarif Trump Terhadap Ekonomi Global

Sejak pengumuman kenaikan tarif impor Amerika Serikat, pemerintah dari seluruh negara segera melakukan upaya pembalasan atau meminta adanya pengecualian dari Amerika Serikat. Uni Eropa, Tiongkok, Korea Selatan, dan negara-negara lainnya memberikan tanggapan yang beragam, mulai dari protes formal hingga tindakan legislatif langsung, sembari mereka menilai dampak potensial dari tarif ini terhadap perekonomian mereka.

Tiongkok menjadi negara yang paling terdampak sejak pengumuman kebijakan “reciprocal tariff” oleh Presiden Trump pada 2 April 2025. Tarif tambahan sebesar 34% diterapkan di luar tarif 30% sebelumnya, menjadikan total tarif Tiongkok sebesar 54%, efektif mulai 9 April 2025. Meskipun tarif ini bukan yang paling ekstrem (Lesotho dikenai tarif sebesar 50%), tarif tersebut lebih tinggi daripada yang diantisipasi para pengamat. Pada hari yang sama, pemerintah AS, dengan mengacu pada masalah fentanyl, juga menutup celah “de minimis provision”, yaitu paket-paket kecil dengan nilai nominal di bawah $800 yang akan dikenakan tarif terpisah mulai 2 Mei 2025. Pada tahun 2024, Tiongkok melaporkan telah mengekspor sekitar $22,8 miliar barang-barang de minimis ke Amerika Serikat. Selain itu, di tahun yang sama, Tiongkok mengekspor barang senilai $524,9 miliar ke Amerika Serikat (14,7% dari total ekspor Tiongkok), menjadikan Amerika Serikat sebagai mitra dagang terbesar Tiongkok. Tarif sebesar 25% yang ditetapkan pemerintah untuk semua mobil dan suku cadang mobil impor, yang diumumkan pada 26 Maret, juga akan dikenakan terhadap barang-barang dari Tiongkok.

Menimbang bahwa lebih dari 14% ekspor Tiongkok ditujukan ke pasar Amerika Serikat, tarif tambahan sebesar 54% jelas berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan terhadap Tiongkok. Terlebih lagi, barang-barang ekspor Tiongkok yang dikenai tarif mencakup berbagai produk manufaktur
bernilai tinggi seperti suku cadang otomotif, peralatan elektronik, dan produk intermediate lainnya yang merupakan bagian vital dari rantai pasok industri global. Berdasarkan Citigroup Inc, tarif AS sebesar 54% terhadap barang-barang Tiongkok yang diumumkan dapat menurunkan pertumbuhan produk domestik bruto negara tersebut sebesar 2,4% pada tahun 2025. Langkah tarif ini menjadi pemicu babak baru dalam perang dagang antara kedua negara, yang sebelumnya telah berlangsung sejak 2018. Alih-alih menurunkan ketegangan, kebijakan ini memicu aksi balasan dari pemerintah Tiongkok yang segera mengumumkan peningkatan tarif terhadap sejumlah produk Amerika Serikat, terutama di sektor pertanian, otomotif, dan energi. Pada 4 April 2025, Tiongkok mengumumkan akan memberlakukan reciprocal tariff sebesar 34% terhadap semua barang impor dari Amerika Serikat, efektif mulai 10 April, menepati janji untuk menyerang balik setelah Presiden AS Donald Trump meningkatkan perang dagang
global. Menanggapi tarif balasan dari Tiongkok, pada 7 April, Presiden Trump mengancam tarif tambahan sebesar 50% di luar reciprocal tariff sebesar 34% jika Tiongkok tidak menyerah. Sehari
setelah tarif tambahan dari Trump, pada 8 April, Trump mengenakan tarif tambahan sebesar 84% terhadap semua barang impor Tiongkok, menjadikan total tarif impor sebesar 104%. Tiongkok mengumumkan tarif balasan sebesar 84% terhadap semua barang impor AS pada 9 April, semakin meningkatkan perang dagang antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Pada hari yang sama, Presiden Trump memutuskan untuk menghentikan sementara pemberlakuan reciprocal tariff selama 90 hari, kecuali terhadap Tiongkok, di mana Trump menaikkan tarif impor hingga 145% khusus untuk Tiongkok, efektif segera. Tarif 10% yang bersifat universal akan tetap berlaku. Menanggapi kenaikan tarif yang sangat besar tersebut, Tiongkok meningkatkan tarif impor AS sebesar 125% pada 11 April.

Gambar 5 : Rangkuman kebijakan tarif Amerika Serikat tahun 2025 berdasarkan mitra dagang, nilai perdagangan terdampak, dan estimasi pengaruhnya terhadap tarif efektif rata-rata, pertumbuhan PDB, serta inflasi inti (Spencer Hakimian, X)

Meskipun Tiongkok menjadi fokus utama dalam kebijakan tarif Amerika Serikat, negara-negara mitra dagang utama lainnya juga tidak luput dari dampak langsung maupun tidak langsung, seperti mitra dagang utama AS di Indo-Pasifik, Jepang dan Korea Selatan. Keduanya mengalami surplus perdagangan dengan AS, namun tetap dikenakan tarif: 24% untuk Jepang dan 25% untuk Korea Selatan.

Sebagai sekutu strategis, Jepang memiliki hubungan yang panjang dan erat dengan AS, termasuk di bidang keamanan dan energi. Jepang sepakat mengimpor LNG dari AS dan menjalin kerja sama senilai $44 miliar dengan Korea Selatan untuk mengekspor LNG ke Alaska. Namun, hubungan ini diuji ketika
Presiden Trump mengkritik perjanjian keamanan AS–Jepang 1960 sebagai “berat sebelah” dan mendesak Jepang menaikkan belanja pertahanan hingga 3% dari PDB, di tengah tantangan demografi dan fiskal. Menanggapi tarif tersebut, Jepang memilih jalur diplomatik. Perdana Menteri Jepang menyatakan tidak akan melakukan pembalasan, melainkan mengupayakan negosiasi untuk menangani tuduhan hambatan dagang seperti klaim tarif 700% terhadap beras asal AS.

Sementara itu, Korea Selatan yang sangat bergantung pada ekspor otomotif—menyumbang 1/6 dari total impor mobil AS pada 2024—mengalami tekanan besar. Saham Hyundai anjlok hampir 13% setelah pengumuman tarif. Selain tarif umum, tarif 25% untuk suku cadang mobil juga berdampak signifikan. Presiden Choi Sang-mok menyatakan komitmen memperkuat hubungan bilateral dan mengupayakan pengecualian untuk produk strategis seperti baja dan otomotif. Pada 30 April, Menteri Perindustrian Korea Selatan bertolak ke Washington DC untuk bernegosiasi langsung dengan perwakilan dagang AS.

Selain menaikkan tarif impornya sebesar 125% terhadap Amerika Serikat, Tiongkok sedang mempertimbangkan strateginya untuk memprioritaskan mitra dagang global lainnya guna membantu
meringankan dampak menurunnya ekspor terhadap Amerika Serikat. Sebelumnya, pada 26 Maret 2025, seminggu sebelum pengumuman reciprocal tariff, Tiongkok melakukan dialog ekonomi dengan Jepang dan Korea Selatan (yang pertama dalam 5 tahun terakhir) untuk menyatukan kekuatan regional dalam
menghadapi ketidakpastian dari Amerika Serikat. Ketiga menteri perdagangan negara tersebut sepakat untuk “bekerja sama erat untuk pembicaraan yang komprehensif dan tingkat tinggi” mengenai perjanjian perdagangan bebas Korea Selatan-Jepang-Tiongkok untuk mempromosikan perdagangan regional dan global, menurut pernyataan yang dirilis setelah pertemuan tersebut. Selain itu, media Tiongkok mengatakan bahwa Tiongkok akan mengunjungi beberapa negara di Asia Tenggara, seperti
Vietnam, Malaysia, dan Kamboja untuk memperkuat perdagangan. Selama dua dekade terakhir, Tiongkok dan Asia Tenggara telah mempererat hubungan dagang mereka secara signifikan. Pada tahun 2023, total volume perdagangan antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN mencapai sekitar $872
miliar (€794 miliar), menurut data pemerintah Tiongkok. Angka ini diperkirakan akan terus bertambah karena perusahaan-perusahaan Tiongkok secara efektif disingkirkan dari pasar AS.

Vietnam menjadi salah satu negara yang paling terdampak oleh kebijakan reciprocal tariff Amerika Serikat, dengan tarif tertinggi sebesar 46%. Negara ini sebelumnya menjadi tujuan utama investasi perusahaan multinasional seperti Intel, Nike, Apple, dan Boeing berkat biaya tenaga kerja yang rendah, infrastruktur yang berkembang, dan kebijakan perdagangan yang mendukung. Sektor manufaktur menjadi tulang punggung ekonomi Vietnam, menyumbang 23,88% dari PDB. Pada 2024, AS mengimpor barang dari Vietnam senilai $142,5 miliar, menjadikannya mitra impor terbesar ke-6, dengan defisit perdagangan mencapai $123,5 miliar. Ketidakseimbangan ini menarik perhatian AS,
terutama setelah perang dagang dengan Tiongkok pada 2018 mendorong strategi “China+1”, yang menjadikan Vietnam sebagai lokasi alternatif manufaktur. Sebagai respons atas tarif tersebut, Vietnam menawarkan pembebasan tarif impor 0% bagi AS untuk menunda pemberlakuan tarif baru. Pada 10 April 2025, Wakil Perdana Menteri Vietnam bertemu dengan Menteri Bessent dan juga menjadwalkan diskusi dengan perusahaan-perusahaan besar AS seperti Boeing dan SpaceX. Namun, mengingat defisit
perdagangan yang besar, prospek negosiasi tetap terbatas.

Dampak Kebijakan Tarif Trump Terhadap Indonesia

Kebijakan Tarif Trump mengakibatkan ketidakpastian perekonomian global. Dalam kondisi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang, para investor mencari aset-aset yang dianggap lebih aman, seperti obligasi pemerintah AS, emas, dolar AS, dan sejenisnya. Sebaliknya, mereka menarik dana dari pasar saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena dianggap lebih berisiko.

Gambar 6: Grafik IHSG + Foreign Flow (Stockbit)

Akibat dari penarikan dana tersebut, IHSG pun ikut terdampak. Kebijakan Tarif Trump ini memberikan berbagai dampak terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu dampak signifikan adalah penurunan nilai IHSG, bahkan terjadi trading halt sebanyak dua kali pada Q1 2025. Trading halt pertama dilakukan pada Senin, 18 Maret 2025, yang dipicu oleh penurunan IHSG lebih dari 5 persen. Sedangkan trading halt kedua dilakukan pada Selasa, 8 April 2025, yang dipicu oleh penurunan IHSG sebanyak 9,16 persen.

Selain itu, dengan perekonomian global yang masih bergejolak, The Fed mempertahankan suku bunga AS. Akibatnya, aset-aset berbasis dolar AS, seperti obligasi pemerintah AS, menjadi lebih menarik bagi investor global karena imbal hasil yang tetap tinggi. Kondisi ini menyebabkan peningkatan permintaan terhadap dolar AS di pasar keuangan internasional, mendorong arus modal global kembali ke Amerika Serikat dan dana asing keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tekanan ini menyebabkan pelemahan nilai tukar mata uang negara-negara tersebut terhadap dolar, termasuk rupiah. Bahkan, pada perdagangan Jumat, 4 April 2025, nilai tukar rupiah sempat jatuh dan melewati level Rp 17.000 per dolar AS.

Berbagai sektor ekspor Indonesia juga terancam kalah saing akibat kebijakan tarif ini. Salah satu sektor yang terdampak adalah kelapa sawit, yang kalah bersaing dengan negara lain. Misalnya, dibandingkan dengan Malaysia, posisi Indonesia kurang kompetitif karena beban ekspor kelapa sawit Indonesia mencapai Rp 3,7 juta per ton, sementara di Malaysia hanya sekitar Rp 2,35 juta per ton. Ditambah lagi dengan tarif resiprokal yang lebih tinggi, posisi Indonesia semakin terjepit. Selain sektor kelapa sawit, ada dua sektor utama lain yang juga terdampak signifikan, yaitu industri padat karya dan perikanan. Tambahan bea masuk ke AS akibat Kebijakan Tarif Trump membuat Indonesia tidak kompetitif dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam atau Bangladesh.

Ketegangan perang dagang antara Tiongkok dan AS akibat kebijakan tarif ini juga berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Sebab, apabila impor barang dari Tiongkok ke AS dikenakan tarif tinggi, maka akan berdampak pada penurunan permintaan barang dari Tiongkok. Hal ini mengurangi daya beli
barang mentah Indonesia yang diekspor ke Tiongkok. Terlebih lagi, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, ketergantungan RI pada China dalam hal ekspor adalah yang terbesar. Persentase ekspor RI ke China terhadap total ekspor mencapai 22,47% pada semester 1-2024. Sedangkan, negara
negara ASEAN lainnya jauh lebih kecil angkanya. Dengan Malaysia hanya 12,04%, Filipina 11,15% serta Thailand 10,58%.

Selain itu, kondisi perekonomian AS dan Tiongkok yang berpeluang melambat juga dapat mengurangi kemampuan negara-negara tersebut untuk memberikan Penanaman Modal Asing (PMA) ke Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus mencari pasar alternatif untuk menjual bahan baku atau produk-produk Indonesia.

Gambar 7: Grafik Proporsi Nilai Total Ekspor terhadap Nilai Ekspor ke China (Bloomberg Technoz)

Studi Kasus: Smoot Hawley Tariff Act

Strategi kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Trump dengan dalih melindungi industri domestik dan mempersempit defisit perdagangan sudah pernah diterapkan di masa lalu. Namun, sejarah mencatat bahwa strategi tersebut tidak hanya gagal mencapai tujuan awalnya, tetapi juga merugikan perekonomian secara global.

Pada tahun 1930, Amerika Serikat mengesahkan kebijakan proteksionisme yang ekstrem, yaitu Smoot-Hawley Tariff Act. Saat itu, tarif impor dinaikkan secara drastis terhadap 20.000 produk, dengan tarif rata-rata melonjak hingga 40-60 persen. Tujuan kebijakan ini adalah untuk melindungi sektor pertanian

Dari kasus Smoot-Hawley Tariff Act, dapat diambil kesimpulan bahwa, meskipun AS memiliki kekuatan ekonomi yang besar, negara ini tidak kebal terhadap balasan dari puluhan negara yang
merespons dengan menaikkan tarif mereka sendiri. AS tidak hanya kehilangan pasar ekspor, tetapi juga mengalami penurunan produksi, lonjakan pengangguran, serta tekanan sosial-ekonomi yang semakin dalam. Alih-alih membangun tembok tarif, dunia seharusnya membangun kerja sama multilateral serta jembatan kepercayaan dan keadilan dalam perdagangan. Perang dagang hanya akan mendatangkan ketidakpastian terhadap perekonomian global, memperlemah kerja sama antar negara, dan menciptakan resesi global yang berkepanjangan.

What the Government Should Do and What We Expect

Dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang semakin tidak menentu, terutama sebagai dampak dari kebijakan tarif proteksionis Amerika Serikat, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah strategis yang berorientasi pada penguatan fondasi ekonomi domestik. Langkah pertama yang harus
dilakukan adalah memperkuat sektor manufaktur dalam negeri, khususnya pada industri bernilai tambah tinggi seperti produk elektronik, kimia, dan otomotif. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia terus menurun, dari 20,8% pada tahun 2014 menjadi hanya 18,3% pada tahun 2023. Meskipun demikian, Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia berhasil masuk dalam posisi 12 besar dalam Manufacturing Countries by Value Added dunia. Indonesia mengungguli negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand ($128 miliar) dan Vietnam ($102 miliar), yang nilai MVA-nya hanya setengah dari nilai MVA Indonesia
($255,96 miliar). Ini mencerminkan kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian nasional dan perannya di kancah global. Meskipun begitu, penurunan persentase kontribusinya terhadap PDB menunjukkan bahwa sektor lain tumbuh lebih cepat atau bahwa sektor manufaktur belum berkembang secepat yang diharapkan. Penurunan ini menjadi sinyal perlunya revitalisasi industri untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global dan mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah.

Pemerintah juga harus mendorong diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional, khususnya di kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Pemerintah perlu mempercepat aliansi pasar non-AS. Saat ini, sekitar 58% ekspor Indonesia masih terfokus pada lima negara utama: Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura. Diversifikasi pasar tidak hanya akan memperluas peluang dagang, tetapi juga meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap guncangan eksternal dari negara mitra utama seperti Amerika Serikat. Dalam konteks ini, perjanjian dagang seperti Indonesia Australia CEPA atau keikutsertaan dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP)
harus dimanfaatkan secara optimal.

Selanjutnya, penyederhanaan regulasi dan reformasi birokrasi menjadi elemen kunci untuk mendukung kelancaran perdagangan luar negeri. Berdasarkan laporan Ease of Doing Business terakhir dari World Bank sebelum dihentikan pada 2021, Indonesia menempati peringkat 73 dari 190 negara, masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand (peringkat 21) dan Malaysia (peringkat 12). Reformasi struktural dan efisiensi birokrasi dibutuhkan agar pelaku usaha tidak
terkendala perizinan yang panjang dan tumpang tindih.

Upaya ini perlu ditunjang oleh pembangunan infrastruktur dan reformasi ekonomi dalam negeri. Menurut World Economic Forum (2023), Indonesia masih menghadapi kesenjangan infrastruktur,
terutama dalam konektivitas logistik dan pelabuhan. Padahal, logistik memegang peran krusial dalam menentukan efisiensi biaya ekspor. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga dapat menciptakan lapangan kerja baru, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dan mengurangi kesenjangan ekonomi antar kawasan.

Akhirnya, ekspektasi masyarakat terhadap pemerintah adalah kebijakan yang menjaga stabilitas ekonomi, transparansi pengambilan keputusan, dan peningkatan daya beli. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia (2024), 72% responden menyatakan bahwa kestabilan harga kebutuhan pokok adalah
prioritas utama mereka dalam menilai kinerja ekonomi pemerintah. Maka, langkah-langkah kebijakan yang tidak hanya responsif terhadap dinamika global tetapi juga berpihak pada kebutuhan rakyat harus menjadi fokus utama.

Referensi:

Anggit, I. (2018, November 28). Mengintip strategi pemerintah hadapi perang dagang AS-China. CNBC Indonesia. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/market/20181128135938-17
44090/mengintip-strategi-pemerintah-hadapi-perang-dagang-as-china

Buchwald, E., & Liptak, K. (2025, April 9). Trump pauses reciprocal tariffs for some countries amid global concerns. CNN Business. Retrieved from https://edition.cnn.com/2025/04/09/business/reciprocal-tariff-pause-trump/index.html

Cole, G. (2025, Februari). How to handle US-China tariffs and the end of de minimis. Avalara. Retrieved from https://www.avalara.com/blog/en/north-america/2025/02/how-to-handle-us-china-tariffs-de-minimis.html

Dewi, N. K. T. C. (2025, April 11). Nilai tukar rupiah terus melemah, BI langsung intervensi pasar. Tempo.co. Retrieved from https://www.tempo.co/ekonomi/nilai-tukar-rupiah-terusmelemah-bi-langsung-intervensi-pasar-1229702

Grafik Harga IHSG dan Indikator Foreign Flow. Diakses pada 10 Mei 2025, Retrieved from https://stockbit.com/symbol/IHSG/chartbit

Doan, L. (2025, April 2). Trump says his tariffs could bring in trillions in revenue. Economists disagree. CBS News. Retrieved from https://www.cbsnews.com/news/factcheck-trump-tariffs-revenue/

Statista. (2024b, November 20). U.S. publicly held debt 2013-2024. Retrieved from https://www.statista.com/statistics/273294/public-debt-of-the-united-states-by-month/

Fadilah, I. (2025, Mei 5). Nilai tambah manufaktur RI masuk 12 besar dunia, unggul dari Vietnam Thailand. DetikFinance. Retrieved from https://finance.detik.com/industri/d-7899565/nilai-tambah-manufaktur-ri-masuk-12-besar-dunia-
unggul-dari-vietnam-thailand

Hyatt, D. (2025, April 27). Trump’s tariff revenue is rolling in. Investopedia. Retrieved from https://www.investopedia.com/the-tariff-revenue-is-rolling-in-11722551

Mangan, D. (2025, April 9). Trump temporarily drops tariffs to 10% for most countries, hits China harder with 125%. CNBC. Retrieved from https://www.cnbc.com/2025/04/09/trump-announces-90-day-tariff-pause-for-at-least-some-countries.html?msockid=3f4494a9174e62ff029381d31618637e

Mardianti, D. L. (2019, Juli 19). Fakta-fakta penting soal kebijakan tarif impor Trump: Alasan, dampak hingga sikap pemerintah. Tempo.co. Retrieved from https://www.tempo.co/ekonomi/fakta-fakta-penting-soal-kebijakan-tarif-impor-trump-alasan-dampak-hingga-sikap-pemerintah

Martin, N. (2025, April 11). Trump tariffs drive China, EU to diversify trade. DW. Retrieved from https://www.dw.com/en/trump-tariffs-trade-eu-car-industry-cheap-goods-wto/a-72176478

Nadira, F. (2025, April 18). Ini 2 sektor yang kena dampak keras tarif Trump ke RI. CNBC Indonesia. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/news/20250418101248-4-626981/ini-2-sektor-yang-kena-dampak-keras-tarif-trump-ke-ri

Ngo, C. N., & Dang, H. (2022). Covid-19 in America: Global supply chain reconsidered. The World economy,10.1111/twec.13317.Advance online publication. Retrieved from https://doi.org/10.1111/twec.13317

OCBC NISP. Retrieved from https://www.ocbc.id/id/article/2021/08/30/akuisisi-adalah

Khoiriyah, R. (2024, July 24). Ketergantungan RI pada China Besar, Pertumbuhan Ekonomi Ikut Lesu Market. Page 2. Retrieved
from https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/44368/ketergantungan-ri-pada-china-besar-pertumbuhan-ekonomi-ikut-lesu/2

Nugroho, R. (2025, April 23). Smoot-Hawley 1930: Saat Amerika Belajar bahwa Dunia Bisa Membalas[Post].LinkedIn. Retrieved from https://www.linkedin.com/pulse/smoot-hawley-1930-saat-amerika-belajar-bahwa-dunia-bisa-rido-nugroho-1mmnc/

Puspita, M. D. (2025, April 9). Belum genap sebulan, trading halt IHSG terjadi dua kali di awal 2025. Tempo.co. Retrieved from https://www.tempo.co/ekonomi/belum-genap-sebulan-trading-halt-ihsg-terjadi-dua-kali-di-awal-2025–1228960

Revo, M. (2025, April 11). Perang dagang China vs AS makin panas, seberapa buruk dampak ke RI. CNBC Indonesia. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/research/20250411151916-128-625275/perang-dagang-china-vs-as-makin-panas-seberapa-buruk-dampak-ke-ri

RFI. (2025, Maret 27). Japan warns of significant impact from US tariffs. Retrieved from https://www.rfi.fr/en/international-news/20250327-japan-warns-of-significant-impact-from-us-tariffs

Rilis survei nasional: Evaluasi publik terhadap 10 tahun pemerintahan Jokowi.(2024, October 4). Indikator.co.id. Retrieved from https://indikator.co.id/wp-content/uploads/2024/10/RILIS-
INDIKATOR__04-OKTOBER-2024.pdf

Rizky, M. (2025, April 28). Ekspor sawit RI terancam, kena efek tarif Trump-kalah dari Malaysia.CNBC Indonesia. Retrieved from
https://www.cnbcindonesia.com/news/20250428161924-4-629369/ekspor-sawit-ri-terancam-kena-efek-tarif-trump-kalah-dari-malaysia

Shin, H. (2025, April 3). Trump tariffs plunge Korea into chaos, with no president to take the helm. Korea JoongAng Daily.

Why Trump Targeted Vietnam with Tariffs—and What It Means for Global. (2025, April). YourStory. Retrieved from https://yourstory.com/2025/04/trump-targeted-vietnam–tariffs-global-trade

Workman, D. (2024, Maret 14). China’s top import partners. World’s Top Exports. Retrieved from https://www.worldstopexports.com/chinas-top-import-partners/

World Bank. (2020). Doing business 2020: Comparing business regulation in 190 economies –Economy profile of Indonesia. Retrieved from
https://documents1.worldbank.org/curated/en/760081575000864905/pdf/Doing-Business-2020-Comparing-Business-Regulation-in-190-Economies-Economy-Profile-of-Indonesia.pdf

Written by:

Investment Studies Division

Ahmad Faiz Ali

ahmad.faiz31@ui.ac.id

Johanna Felicia Marsintauli

johanna.felicia@ui.ac.id

Ivan Febrianto

ivan.febrianto@ui.ac.id

Published by:

Operation and Infrastructure Division

Kesia Taminta Depari

kesia.taminta@ui.ac.id

Sherin Evelyn Silitonga

sherin.evelyn@ui.ac.id