Published on July 25th, 2024
Short Selling: A Controversial Capital Market Strategy
Short Selling dalam Pasar Modal
Pasar modal merupakan suatu wadah dimana berbagai instrumen keuangan seperti saham, dan obligasi diperdagangkan. Pemain dalam pasar modal yaitu investor dan trader memiliki berbagai strategi untuk meraih keuntungan melalui perdagangan yang terjadi di bursa. Salah satu strategi yang sering dilakukan oleh trader adalah melakukan short selling. Short Selling adalah suatu mekanisme lanjutan dalam perdagangan yang berbeda dari mekanisme pembelian dan penjualan saham secara sederhana. Biasanya seorang investor dapat membeli saham, memegangnya, dan kemudian menjualnya kembali ketika harganya naik untuk mendapat keuntungan. Namun dalam short selling, investor hanya “meminjam” saham dari pihak yang telah memilikinya, kemudian berharap harganya turun untuk mendapatkan keuntungan. (Dwi, 2024)
Short selling memiliki mekanisme di mana investor meminjam saham dari pihak lain atau broker untuk kemudian dijual, investor berharap supaya harga saham tersebut turun, dan kemudian membelinya di harga murah dari nilai awal ketika meminjam saham tersebut. Investor kemudian membeli kembali saham di harga murah untuk mengembalikan saham tersebut kepada pihak lain atau broker untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga jual dan beli. Strategi ini memberikan peluang bagi investor untuk meraih keuntungan bahkan ketika harga saham turun atau ketika pasar sedang bearish. (Beers, 2024)
Bursa Efek Indonesia (BEI) pernah menerapkan mekanisme short selling di Indonesia, dan kabarnya akan kembali menerapkannya dalam waktu dekat. Manfaatnya bagi pasar, mekanisme ini dapat membantu dalam menjaga keseimbangan harga saham dengan menyediakan likuiditas tambahan dan mencegah terjadinya bubble harga yang tidak realistis (Hayes, 2023). Namun di sisi lain strategi ini juga memiliki risiko yang tinggi bagi investor, yaitu ketika harga saham malah naik lebih tinggi maka investor harus membeli kembali saham tersebut dengan harga yang lebih tinggi daripada harga jual awalnya, yang mengakibatkan kerugian.
Ketidakjelasan informasi, kompleksitas, potensi kerugian yang tinggi, hingga riba merupakan hal yang menyebabkan penerapan short selling menjadi kontroversial di Indonesia. Pihak yang mendukung short selling berpendapat bahwa mekanisme ini membantu menciptakan pasar yang lebih efisien dan likuid. Sedangkan pihak kontra menyatakan bahwa short selling berpotensi menimbulkan manipulasi harga dan peningkatan volatilitas pasar dalam kondisi yang tidak stabil. (Affan, 2024)
Dalam artikel ini, kami akan membahas lebih lanjut mengenai penerapan short selling di Indonesia, dampaknya terhadap pasar modal, serta pandangan pro dan kontra yang menyertainya. Kami juga telah menyediakan studi kasus untuk menggambarkan bagaimana mekanisme short selling dapat mempengaruhi harga saham dan perilaku investor di pasar modal Indonesia.
Latar Belakang Pelarangan dan Penerapan Kembali Short Selling
Mekanisme short selling yang akan diterapkan Bursa Efek Indonesia (BEI) menimbulkan polemik. Sebelumnya, selama tiga tahun short selling dilarang akibat pandemi (Frensidy, 2023). Para direksi Bursa Efek Indonesia (BEI) sepakat bahwa pelarangan tersebut dapat menekan harga saham di saat perdagangan efek tidak kondusif karena penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atas penyebaran wabah COVID-19 (Kurnia, 2024).
Secara historis, short selling telah dilarang di beberapa negara sebagai respon darurat untuk menstabilkan pasar, misalnya dalam Great Depression (1930-an), krisis keuangan global (2008), dan pandemi COVID-19 (2020) (Thompson & Catalano, n.d.). Memang short selling telah dijadikan kambing hitam ketika pasar saham tumbang karena dianggap telah menyebarkan tuduhan rumor maupun insentif besar demi jatuhnya harga saham. Dapat terlihat, kecurigaan terhadap short seller membuat lahirnya SEC (Securities and Exchange Commission) ketika Great Depression tahun 1929. Selain itu, transaksi short selling dinilai berisiko sangat tinggi karena ketidakseimbangan antara rasio keuntungan dan kerugian tiada batasnya (Frensidy, 2023).
Meskipun demikian, tidak semua negara melarang short selling, misalnya Cina yang mengizinkan short selling dengan aturan ketat (Thompson & Catalano, n.d.). Tidak hanya Cina, saat ini Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang mengembangkan sistem dan menyiapkan anggota bursa sebagai pelaku short selling. Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy, mengatakan bahwa terdapat tujuan melalui adanya short selling ini, yakni ketika pasar sedang dalam keadaan bearish (turun), investor tetap bisa memanfaatkan momentum, meningkatkan likuiditas, dan membentuk harga.
Sama seperti Cina yang mengizinkan short selling dengan aturan ketat, di Indonesia short selling diatur ketat oleh Bapepam-LK. Jika melihat kembali ke sejarah, pertama kali Indonesia menerapkan short selling adalah ketika pada tanggal 30 April 1997, dirilis Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-09/PM/1997 tentang Pembiayaan Penyelesaian Transaksi Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah. Meski demikian, krisis yang menghantam dunia menurunkan IHSG sehingga Bapepam menerbitkan revisi aturan short selling agar IHSG tidak terus menurun.
Mekanisme Short Selling
Short selling, atau dikenal juga sebagai penjualan singkat dijelaskan sebagai strategi untuk berinvestasi saham yang memiliki keunikan tersendiri, yang mana investor memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari penurunan harga saham (OJK, 2018).
Terdapat 3 tahap utama dalam melakukan kegiatan short selling menurut buku ‘The Art of Short Selling’ yang ditulis oleh M. Sonsick dan Byron:
- Investor meminjam saham dari broker atau pihak lain yang memiliki saham
Dalam kasus ini, peminjaman ini biasanya dilakukan dengan jaminan atau collateral dalam bentuk dana atau efek lain. Juga, terdapat biaya pinjaman yang dibebankan pada investor selama periode short selling. - Investor langsung menjual di pasar dengan harga pasar saat itu
Dalam hal ini, investor berspekulasi bahwasanya harga saham akan turun di masa yang akan datang sehingga jikalau harga saham benar-benar turun, investor dapat membeli kembali saham di pasar dengan harga yang lebih rendah. - Investor langsung membeli kembali saham di pasar ketika harga pasar yang lebih rendah
Saham yang dibeli ini kemudian dikembalikan kepada pihak pemberi pinjaman yang mana investor mendapatkan keuntungan dari selisih harga antara harga jual saat awal short selling dan harga beli saat membeli kembali saham.
Berikut mekanisme short selling (semua nama dalam penulisan ini hanyalah sekedar fiktif)
Bayangkan PT Jojo Mencari, Tbk. (JFFC) mengalami kinerja keuangan yang memburuk. Investor A memprediksi harga saham JFFC akan turun dalam waktu dekat.
Berikut simulasi short selling oleh Investor William:
1. Investor William meminjam 100 saham JFFC dari brokernya dengan jaminan Rp5.000.000.
2. Investor William menjual 100 saham JFFC di pasar dengan harga Rp100 per saham, menghasilkan Rp10.000.000.
Konteks : Harga saham JFFC benar-benar turun menjadi Rp80 per saham.
3. Investor William membeli kembali 100 saham JFFC di pasar dengan harga Rp80 per saham, menghabiskan Rp8.000.000.
4. Investor William mengembalikan 100 saham JFFC kepada brokernya.
Pada akhirnya jika diakumulasi, keuntungan Investor William : Rp10.000.000 (penjualan) – Rp8.000.000 (pembelian kembali) – Rp500.000 (biaya peminjaman) = Rp1.500.000
Maka dari itu, short selling memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagaimana berikut ini dituliskan, yaitu:
Studi Kasus Saham Yang Terdampak Short Sell
Short selling tentunya disertai dengan risiko yang besar, salah satunya yaitu efek “short squeeze” yang dirasakan oleh short seller saham Volkswagen atau dikenal sebagai VOW3 di Xetra, bursa saham Jerman pada tahun 2008 silam. Volkswagen adalah perusahaan otomotif ternama asal Wolfsburg, Jerman yang membawahi merk mobil lainnya seperti Audi, Bentley, dan Lamborghini. Sedangkan, “short squeeze” adalah fenomena di pasar finansial di mana lonjakan harga yang tajam memaksa para short seller untuk segera menutup posisi. (Corporate Finance Institute, n.d.)
Pada saat itu, para investor dan hedge funds melakukan short sell terhadap saham VOW3 dengan ekspektasi harganya akan turun. Beberapa faktornya mencakup krisis finansial yang berlangsung secara global, kondisi industri otomotif yang kurang baik karena termasuk siklikal, serta sentimen pasar. Namun, Porsche secara diam-diam meningkatkan porsi kepemilikan sahamnya, dari hanya 31% pada Maret 2008 menjadi 42,6% ordinary shares atau saham biasa ditambah dengan 31,5% cash settled options atau opsi kas bertetap, salah satu bentuk Kontrak Opsi Saham (KOS). Dengan demikian, Porsche dapat mengendalikan 74,1% saham VOW3 di pasar modal. Padahal, sebelumnya para investor meyakini bahwa Porsche tidak akan menambah porsi kepemilikannya, disebabkan oleh Negara Bagian Lower Saxony juga memiliki kepemilikan saham Volkswagen sebesar 20%. Saham yang beredar di pasar modal pun hanya tersisa kurang dari 6%. Kemudian terjadi lonjakan harga VOW3 dari €210,85 hingga mencapai lebih dari €1.000 dalam kurun waktu dua hari.
Jika biasanya kenaikan harga saham yang drastis dapat menguntungkan market dan investor, dampaknya malah merugikan dalam konteks short selling. Posisi para short seller dirugikan karena mereka harus membeli kembali saham VOW3 dengan harga yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya untuk mengembalikannya setelah dipinjam. Dari peristiwa tersebut, Volkswagen sempat menjadi perusahaan terbesar di dunia melalui market cap pada 28 Oktober 2008 (International Banker, 2021). Tidak lama setelah lonjakan harga saham VOW3 terjadi, harga juga jatuh dengan cepat. Meski demikian, para investor dan hedge funds telah melakukan cut loss karena risiko yang besar saat harga saham naik secara abnormal. (Warrior Trading, 2023)
Di Indonesia sendiri, short selling pernah menghebohkan bursa efek melalui kasus Bank Pikko di tahun 2000. Bank Pikko didirikan pada tahun 1968 dengan nama PT. Bank Raharja Makmur, kemudian melakukan merger dengan Bank Danpac dan Bank CIC menjadi Bank Century. Bank Pikko melakukan pencatatan saham di bursa pada 8 Januari 1997. Rata-rata volume perdagangan harian sekitar 100 ribu unit di bulan Januari dan Februari 1997, dengan harga berkisar antara Rp875,- hingga Rp1.425,-. Pada tanggal 12-20 Maret 1997, terjadi kenaikan volume perdagangan dan puncaknya mencapai 10,48 juta unit, yaitu 27,43% dari total saham yang beredar di masyarakat.
Pada tanggal 7 April 1997, Bursa Efek Jakarta (sebelum menjadi BEI) meminta penjelasan dari Bank Pikko mengenai lonjakan volume yang mencurigakan. Keesokan harinya, manajemen emiten menjelaskan bahwa tidak ada hal-hal yang perlu diungkap ke publik sehingga orang-orang berspekulasi bahwa harga sahamnya akan segera turun, mengingat tidak ada tanda-tanda corporate action. Para investor pun mulai melakukan short selling. Hanya dalam waktu beberapa saat, saham bergerak dari level Rp1.400-an hingga mencapai Rp1.900, yaitu harga di mana investor menilai saham Pikko sudah overvalued. Namun, setiap kali short sellers menjual saham Bank Pikko, bid terus meningkat bahkan sampai harganya mencapai Rp4.000,- pada pukul 14.12. Keseluruhan perdagangan saham Bank Pikko pada hari itu tercatat 550 kali transaksi dengan volume 21,66 juta unit (sebesar 77,35% saham yang beredar di masyarakat). Angka tersebut menandakan tingginya transaksi short selling yang disebabkan oleh antusias para investor terhadap naiknya harga saham Bank Pikko. (Handayani, 2005, 55)
Bagan Perdagangan Saham Bank Pikko
Dengan dihentikannya perdagangan saham Bank Pikko oleh BEJ, para short seller mengalami kerugian besar karena harus membeli kembali saham di tingkat harga Rp3.500,-. Akibatnya 52 perusahaan dari total 127 perusahaan efek gagal menyerahkan saham sehingga Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), yaitu lembaga pengawas sebelum OJK, memberikan sanksi sebesar Rp 1 miliar kepada tiap perusahaan efek. Selain itu, 4 perusahaan efek di antaranya juga mengalami suspend. (Widowati, 2020)
Dari kasus Bank Pikko tersebut dapat dianalisis bahwa short selling meningkatkan likuiditas saham, tercermin dari lonjakan volume perdagangan sebesar 385% dari hari sebelumnya. Perilaku investor juga ikut terpengaruh karena adanya sentimen downside pada harga saham, sehingga mereka cenderung untuk sell saham yang dipinjam. Umumnya offer yang lebih besar dari bid mengindikasikan tanda-tanda harga saham akan turun. Akan tetapi di beberapa kasus seperti saham Volkswagen dan Bank Pikko, spekulasi para investor tidak sesuai dengan kenyataan, menggambarkan risiko yang tinggi dalam praktik short selling.
Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi atas Short Selling kepada BEI
Terdapat beberapa hal penting terkait penerapan short selling yang ditarik dari studi kasus Volkswagen (VW) di Jerman dan Bank Pikko di Indonesia:
1. Volkswagen (VW) di Jerman (2008)
- Fenomena Short Squeeze: Hanya dalam dua hari, terjadi lonjakan harga saham VW dari yang semula €210,85 sampai lebih dari €1.000 yang dipicu oleh pembelian mendadak oleh Porsche, di mana mayoritas saham VW dikendalikan oleh Porsche. Hal ini menimbulkan kerugian besar bagi short sellers di mana mereka membeli kembali saham dengan harga yang terlampau tinggi.
- Efek pada Pasar: Melalui peristiwa tersebut, di mana harga saham melambung tinggi, VW berhasil menjadi perusahaan terbesar di dunia berdasarkan market cap pada 28 Oktober 2008, meskipun memang pada akhirnya harga kembali jatuh dalam waktu yang singkat.
2. Bank Pikko di Indonesia (2000)
- Lonjakan Volume Perdagangan: Hanya dalam kurun waktu yang singkat, terjadi lonjakan peningkatan volume perdagangan harian saham Bank Pikko, dari yang rata-rata hanya sebesar 100 ribu unit naik berkali-kali lipat menjadi 10,48 juta unit. Tidak hanya volume perdagangan harian yang melonjak, harga saham juga turut meningkat tajam dari yang sebelumnya Rp1.400-an menjadi Rp4.000.
- Kerugian Besar bagi Short Sellers: Short sellers harus menanggung kerugian besar ketika BEI menghentikan perdagangan saham Bank Pikko sehingga short sellers membeli kembali saham dengan harga yang terlampau tinggi.
Implikasi
- Risiko Tinggi: Melalui kasus yang terjadi pada VW, short selling melibatkan tingkat risiko yang tinggi di mana ketika terjadi lonjakan harga saham secara drastis, investor akan mengalami kerugian besar.
- Likuiditas Pasar: Melalui lonjakan volume perdagangan Bank Pikko, kita melihat bahwa short selling mempengaruhi tingkat likuiditas pasar menjadi semakin tinggi, namun juga memicu peningkatan volatilitas pasar.
- Sentimen Pasar: Short selling sangat dipengaruhi oleh sentimen pasar karena short seller mengharapkan terjadinya penurunan harga saham. Demi terjadinya penurunan harga saham, praktik manipulasi harga melalui sentimen negatif kerap terjadi, dan hal ini menimbulkan potensi ketidakstabilan pasar.
Rekomendasi
- Regulasi yang Ketat: Dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk mengatur dengan ketat short selling melalui regulasi, misalnya untuk membatasi jumlah saham yang dipinjam dan diperdagangkan, serta mengawasi short selling.
- Edukasi Investor: Investor perlu paham mekanisme dan risiko short selling sebelum mulai terjun ke dalamnya. Dengan demikian, penting bagi para investor untuk mendapatkan edukasi agar dapat mengambil keputusan dengan lebih matang dan mengurangi praktik spekulatif yang berlebihan.
- Pengawasan Pasar: Pasar harus diawasi dengan ketat oleh OJK dan BEI demi mendeteksi dan mengatasi praktik manipulasi pasar.
- Diversifikasi Strategi: Tidak disarankan untuk menjadikan short selling sebagai satu-satunya strategi dalam berinvestasi. Dibutuhkan diversifikasi strategi agar risiko menjadi lebih rendah dan portofolio yang lebih stabil.
Short selling dapat membantu menjaga stabilitas harga saham dan meningkatkan likuiditas pasar hanya jika terdapat regulasi yang ketat dan pendekatan yang hati-hati. Ketika short selling dilakukan tanpa pengawasan, dan investor tidak paham mekanisme maupun risiko dari short selling, kerugian yang ditimbulkan akan sangat tinggi bagi investor dan pasar.
Referensi:
Affan, S. I. (2024, Juni 20). Kontroversi Short Sell, Terlalu Spekulatif hingga Riba – Market. Bloomberg Technoz. Diakses pada 17 Juli 2024, dari https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/41333/kontroversi-short-sell-terlalu-spekulatif-hingga-riba
Beers, B. (2024, Januari 11). How an Investor Can Make Money Short Selling Stocks. Investopedia. Diakses pada 17 Juli 2024, dari https://www.investopedia.com/ask/answers/how-does-one-make-money-short-selling/
Corporate Finance Institute. (n.d.). Short Squeeze – Overview, How It Works, and How to Spot It. Corporate Finance Institute. Diakses pada 18 Juli 2024, dari https://corporatefinanceinstitute.com/resources/career-map/sell-side/capital-markets/short-squeeze/
Dwi, C. (2024, Maret 19). BEI Akan Luncurkan Intraday Short Selling, Ini Arti dan Contohnya. CNBC Indonesia. Diakses pada 17 Juli 2024, dari https://www.cnbcindonesia.com/research/20240319100318-128-523161/bei-akan-luncurkan-intraday-short-selling-ini-arti-dan-contohnya
Frensidy, B. (2023, Juli 5). Budi Frensidy: Memahami Aksi Short Selling di Bursa Saham – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. FEB UI. Diakses pada 17 Juli 2024, dari https://feb.ui.ac.id/2023/07/05/budi-frensidy-memahami-aksi-short-selling-di-bursa-saham/
Handayani, E. (2005). Penanganan Kasus yang Berkaitan dengan Short Selling oleh BAPEPAM (Studi Kasus PT Bank Pikko, Tbk). Skripsi, 1(1), 50-56. Perpustakaan Unika Atma Jaya.
Hayes, A. (2023, November 20). How Does Short Selling Help the Market and Investors? Investopedia. Diakses pada 17 Juli 2024, dari https://www.investopedia.com/ask/answers/012815/how-does-short-selling-help-market-and-investors.asp
International Banker. (2021, September 29). The Volkswagen Short Squeeze (2008). International Banker. Diakses pada 17 Juli 2024, dari https://internationalbanker.com/history-of-financial-crises/the-volkswagen-short-squeeze-2008/
Kurnia, E. (2024, Juni 24). BEI Akan Luncurkan ”Short Selling” di Oktober 2024. Kompas.id. Diakses pada 17 Juli 2024, dari https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/06/24/bei-akan-luncurkan-short-selling-di-oktober-2024
Thompson, C., & Catalano, T. J. (n.d.). Why Is Short Selling Illegal in Some Countries? Investopedia. Diakses pada 17 Juli 2024, dari https://www.investopedia.com/ask/answers/012015/why-short-selling-illegal-some-countries-legal-us.asp
Warrior Trading. (2023, November 5). Remembering the Legendary Volkswagen Short Squeeze. Warrior Trading. Diakses pada 18 Juli 2024, dari https://www.warriortrading.com/volkswagen-short-squeeze/
Widowati, H. (2020, Maret 4). Mengenal Transaksi Short Selling yang Dilarang Bursa Efek Indonesia – Bursa Katadata.co.id. Katadata. Diakses pada 19 Juli 2024, dari https://katadata.co.id/finansial/bursa/5e9a470d6bdf4/mengenal-transaksi-short-selling-yang-dilarang-bursa-efek-indonesia
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2018, November). Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor X/POJK.X/2018 tentang Transaksi Efek. Diakses pada 18 Juli 2024, dari https://www.ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasa-keuangan/rancangan-regulasi/Documents/RPOJK%20Transaksi%20Efek%20-Permintaan%20tanggapan-november2018.pdf
The Motley Fool. (n.d.). Short Selling: A Guide for Beginners. Diakses pada 19 Juli 2024, dari https://www.fool.com/legal/fool-disclosure/short/
Houle, T. J. (2010). Short Selling: A Comprehensive Guide to Profiting from Falling Stock Prices. McGraw-Hill Professional.
Sosnick, S. M., & Wien, B. (2007). The Art of Short Selling. John Wiley & Sons.
Written by:
Research and Development Division
Helsy Amelia
Stella Maria Lipri
William Philip Karnadi
Jonathan Adrian
Published by:
Operation and Infrastructure Division
Adhimas Arbita Naufal