Published on May 15th, 2024

Challenges for FMCG Sector to Face Sustainability Problems

Pengenalan sektor FMCG

Fast Moving Consumer Goods atau FMCG adalah produk kebutuhan sehari-hari yang dijual cepat dan dengan harga terjangkau, diproduksi secara banyak, dan relatif mudah ditemukan di mana-mana. Biasanya produk ini juga memiliki masa pakai yang singkat, misalnya, makanan siap saji, makanan olahan, makanan ringan, minuman, obat-obatan, kebutuhan rumah tangga, dan perlengkapan perawatan tubuh. Meskipun dianggap sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan, sektor industri FMCG memiliki tantangan tersendiri dalam pengimplementasian keberlanjutan lingkungan.

Sektor FMCG adalah salah satu penyumbang sampah terbanyak di Indonesia. Hal ini disebabkan sebagian besar produk FMCG menggunakan plastik sebagai kemasan produk. Pada tahun 2022, Zero Waste Indonesia bersama Walhi Nasional melakukan brand audit. Dari kegiatan ini, ditemukan 201 kilogram sampah di mana 79,7% diantaranya merupakan sampah plastik sekali pakai dan 9,2% sampah plastik daur ulang. Dalam brand audit ini, ditemukan juga sejumlah produk dari perusahaan raksasa FMCG Indonesia menyumbangkan ribuan polutan sampah.

Walaupun fakta di lapangan menyatakan bahwa perusahaan FMCG menyumbang sampah yang begitu besar, ternyata program keberlanjutan lingkungan atau sustainability bukanlah hal yang asing bagi perusahaan. Sustainability report atau laporan keberlanjutan merupakan laporan tahunan yang wajib dibuat oleh perusahaan. Umumnya, laporan ini terdiri dari kinerja perusahaan dalam mewujudkan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan laporan keberlanjutan disampaikan oleh perusahaan publik. Aturan tersebut tertulis pada Peraturan OJK Nomor 51 tahun 2017.

Salah satu tantangan terbesar perusahaan FMCG adalah bagaimana mengimbangi permintaan masyarakat terhadap produk primer namun tetap mengedepankan keberlanjutan. Namun kita perlu mengetahui terlebih dahulu, apa sebenarnya dampak tren pertumbuhan sektor FMCG terhadap lingkungan, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Dampak pertumbuhan sektor FMCG terhadap lingkungan

Konsumsi barang konsumen primer seperti makanan, minuman dan produk rumah tangga, yang merupakan produk-produk dari perusahan FMCG telah mengalami peningkatan yang stabil dalam beberapa dekade terakhir menurut data yang telah diolah oleh BPS (BPS, 2023). Peningkatan konsumsi tersebut juga menjadi salah satu indikator utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sementara itu dalam teori ekonomi tradisional, pertumbuhan ekonomi diposisikan sebagai trade-off dari kualitas lingkungan. Artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, biasanya berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan apabila kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak diimbangi oleh pengelolaan lingkungan yang baik (Sukendar, 2013, 842).

Peningkatan konsumsi dapat memberikan dampak buruk terhadap kualitas lingkungan melalui berbagai eksternalitas yang dihasilkan oleh perusahaan dan konsumen. Produksi, transportasi, dan konsumsi barang konsumen primer akan menghasilkan sampah, emisi gas rumah kaca, dan berbagai polusi lainnya. Peningkatan sampah akan menjadi dampak yang paling terlihat, terutama apabila perusahaan memproduksi barang dengan kemasan plastik yang sulit terurai. Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik dapat menyumbat saluran air, mencemari laut, membahayakan hewan, dan sampai menyebabkan terjadinya banjir. Walaupun memiliki dampak yang masif bagi lingkungan, mayoritas perusahaan masih melibatkan plastik sekali pakai baik untuk produksi maupun kemasan produknya (Pahlevi, 2022). 

Dampak terhadap lingkungan yang juga tidak kalah merusak adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca. Setiap proses bak produksi hingga konsumsi menghasilkan gas rumah kaca seperti karbon dioksida, dan metana. Kedua gas tersebut berkontribusi terhadap pemanasan global, kenaikan permukaan laut dan terjadinya cuaca yang ekstrem. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kita juga perlu mengingat bahwa setiap aksi produksi yang dilakukan oleh perusahan FMCG akan mengurangi atau menggunakan sebagian dari sumber daya alam secara terus menerus. Peningkatan konsumsi berarti peningkatan dalam penggunaan SDA baik itu air, energi dan bahan baku. Contohnya dalam memproduksi plastik yang biasanya dipakai sebagai kemasan produk, dibutuhkan minyak bumi yang bukan merupakan SDA terbarukan. Jadi suatu saat di masa depan, ada kemungkinan SDA tersebut habis terpakai oleh karena peningkatan konsumsi yang tidak dibarengi dengan inovasi substitusi pengganti plastik yang lebih ramah lingkungan.

Setiap dampak yang telah disebutkan diatas dapat dimasukkan ke dalam satu istilah yaitu biaya eksternalitas. Dampak dari peningkatan konsumsi adalah peningkatan pendapatan bagi perusahaan, namun perusahaan tidak boleh lupa untuk menghitung biaya eksternalitas, yaitu pencemaran terhadap lingkungan. Biaya eksternalitas tersebut biasanya bersifat negatif dan dibebankan kepada masyarakat, apabila perusahaan tidak melakukan corporate social responsibility (CSR). Jika perusahaan melakukan CSR, dan mengedepankan penerapan konsep Environmental, Social, and Governance (ESG), maka perusahaan akan membayar biaya eksternalitas tersebut dengan memberikan kontribusi terhadap lingkungan.

Perusahaan yang memberikan kontribusi terhadap lingkungan adalah perusahaan berkelanjutan yang tidak hanya memikirkan tentang profit. Namun seperti yang kita telah pahami, perusahaan harus membayar biaya eksternalitas yang juga tidak murah (Nugraha, 2017). Akibatnya hanya beberapa perusahaan FMCG saja yang mengedepankan isu lingkungan, sedangkan yang lain tidak terlalu peduli. Kemudian apakah ada insentif bagi perusahaan yang rela membayar biaya tersebut, dan bagaimana konsumen menanggapi produk-produk yang lebih ramah lingkungan akan dibahas pada bagian yang selanjutnya.

Perilaku konsumen terhadap produk ramah lingkungan

Salah satu strategi perusahaan FMCG dalam menarik konsumen adalah dengan green advertising yaitu memasarkan produk, kemasan produk, hingga metode produksi dan distribusi yang ramah lingkungan. Harapannya adalah supaya menarik minat konsumen, sekaligus memenuhi regulasi pemerintah. Namun apakah metode pemasaran tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan minat konsumen pada produk perusahaan, dapat kita lihat melalui beberapa jurnal penelitian yang telah dilakukan di Indonesia.

Penelitian pertama yang dilakukan Pamungkas dalam jurnalnya yang berusaha meneliti pengaruh green product dan green advertising terhadap keputusan pembelian konsumen menyatakan bahwa pemasaran atau pengenalan green product tidak berpengaruh secara signifikan. Sedangkan di sisi lain green advertising cukup berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen (Pamungkas, 2015). Hal yang sama ditemukan oleh Prabowo dan Sigit dalam jurnalnya yang juga meneliti pengaruh iklan dan citra merek hijau terhadap niat beli produk ramah lingkungan, dimana green product tidak berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli konsumen, sedangkan kesadaran konsumen yang timbul dari green advertising justru berdampak secara signifikan terhadap kenaikan minat beli konsumen.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Herbalife, menyebutkan bahwa masyarakat di negara berkembang, termasuk Indonesia, rela membayar lebih mahal untuk membeli produk yang ramah lingkungan daripada masyarakat negara maju (Herbalife, 2022). Tidak hanya rela untuk membayar lebih mahal untuk barang yang lebih ramah lingkungan, survei tersebut juga menemukan bahwa 96 persen konsumen Indonesia berniat untuk memilih nutrisi yang lebih ramah lingkungan. Ramah lingkungan di sini ada dalam artian kemasan yang minimal atau dapat didaur ulang, mengurangi jumlah sampah, serta diproduksi secara berkelanjutan.

Ketiga penelitian yang telah dilakukan tidak kontradiktif dan malah memberikan insight yang jelas mengenai perilaku konsumen di Indonesia, yaitu bahwa konsumen akan meningkatkan pembelian terhadap barang ramah lingkungan apabila mereka memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya green product. Rendahnya kesadaran lingkungan masyarakat berarti tidak adanya insentif bagi perusahaan dalam menciptakan green product dengan sendirinya, karena cost-nya akan mahal sementara permintaan tidak berubah. Jadi jelas bahwa tugas pemerintah yang seharusnya meningkatkan terlebih dahulu kesadaran masyarakat, baru kemudian membuat kebijakan bagi perusahaan untuk membuat green product yang dapat mendukung kenaikan konsumsi dan permintaan barang FMCG sambil tetap mempertahankan keberlanjutan lingkungan. Kemudian apa yang telah dilakukan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan?

Intervensi pemerintah menyikapi isu sampah

Tanggung jawab pengelolaan lingkungan oleh perusahaan telah diatur pemerintah dalam peraturan pemerintah (PP) 47 tahun 2012. Dalam pasal 2, disebutkan bahwa setiap perseroan memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kemudian, dalam pasal 6 disebutkan bahwa pelaksanaan tanggung jawab tersebut harus dinyatakan dalam laporan tahunan dan dipertanggungjawabkan pada RUPS.

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tahun 2022, jumlah sampah plastik yang dihasilkan Indonesia mencapai 6,8 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 10% sampah plastik yang diproses melalui daur ulang. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia masih sangat minim.

Keadaan ini mendorong pemerintah menetapkan target “Indonesia Bebas Sampah” yaitu pengurangan 30% sampah dan penanganan sampah pada tahun 2025. Pemerintah juga berkomitmen untuk melarang penggunaan plastik sekali pakai mulai 1 Januari 2030. Untuk saat ini, larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai telah diterapkan di Jakarta. Menurut Eline Leising, Kepala Zero Waste Living Lab Enviu Indonesia, sistem penanggulangan sampah plastik Indonesia masih dirintangi oleh berbagai hambatan, terutama dalam pemahaman mengenai pentingnya sistem penanggulangan sampah di lingkungan.

Menyikapi hal ini, PRAISE (Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment) meluncurkan gerakan PRO (Packaging Recovery Organization). Gerakan ini meliputi aktivitas pengumpulan sampah kemasan agar proses penanganan sampah mulai dari pengumpulan sampai pengolahan akhir berlangsung dengan baik. PRAISE sendiri didirikan oleh beberapa perusahaan FMCG terkemuka, antara lain Coca Cola Indonesia, Indofood Sukses Makmur, Nestle Indonesia, Tetra Pak Indonesia, Tirta Investama, Danone Indonesia, dan Yayasan Unilever Indonesia. Gerakan PRAISE PRO ini dilatarbelakangi oleh perilaku tidak peduli sampah oleh 72% masyarakat Indonesia.

Sejumlah realisasi untuk mencapai sustainability telah dilakukan oleh berbagai perusahaan FMCG di Indonesia, mulai dari proses produksi sampai kemasan setelah dipakai konsumen. Salah satu realisasi tersebut diwujudkan oleh perusahaan besar FMCG Indonesia, PT Procter & Gamble (P&G). Perusahaan tersebut menerapkan Zero Waste to Landfill, yaitu tidak ada sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Pada tahun 2021, P&G juga merilis program yang disebut sebagai Conscious Living. Melalui program ini, P&G meningkatkan kesadaran masyarakat tentang lingkungan dengan mengelola sampah daur ulang. Ekspansi program juga dilakukan melalui kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat dan DKI Jakarta. Kerja sama tersebut menghasilkan kurang lebih 200 juta ton sampah berhasil dikumpulkan. Berkat program ini, P&G sukses mencapai program keberlanjutan tidak hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga sosial. Para pelestari lingkungan yang ikut terlihat mendapatkan penghasilan tambahan hingga Rp800.000 per bulan melalui program daur ulang, di mana 8.000 pelestari merupakan ibu rumah tangga dan 1.000 pelestari merupakan kalangan disabilitas.

Realisasi sukses lainnya datang dari Nestle Indonesia yang meraih penghargaan Indonesia Green and Sustainable Company Awards (IGCSA) 2023 dari SWA Media Good. Dalam program keberlanjutannya. Nestle menargetkan Net Zero pada 2050. Di masa salah satu implementasinya adalah memproduksi 95% kemasan yang dapat didaur ulang dan mengurangi  sepertiga resin plastik baru pada 2025. Nestle juga telah menggantikan penggunaan sedotan plastik dengan sedotan kertas sejak tahun 2020.

Peran Emiten FMCG Dalam Menyikapi Isu Lingkungan

Isu mengenai Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) telah mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, perusahaan diwajibkan untuk melaporkan aktivitas sosial mereka melalui laporan tahunan atau sustainability reporting, dengan tujuan menciptakan transparansi dalam kinerja operasional perusahaan. Hal ini bertujuan agar perusahaan tidak hanya fokus pada keuntungan semata, tetapi juga memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Terutama, sektor consumer goods, yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dan lingkungan, memiliki tanggung jawab khusus terkait produknya dan masalah limbah pabrik yang signifikan terhadap lingkungan.

Pada bulan Juni 2022, Program Audit Brand yang dilakukan oleh DCA (Divers Clean Action) mengungkapkan bahwa Unilever, Mayora, dan Indofood merupakan tiga produsen sampah plastik terbesar di Indonesia. Sebagian besar sampah plastik ini berupa kemasan sekali pakai, yang menyumbang sebanyak 79,7 persen dari total sampah plastik (Farahdiba, 2022). Beberapa perusahaan FMCG telah mengambil langkah-langkah CSR terkait masalah lingkungan ini, seperti PT Maju Kirana Gemilang dengan merek La’dor yang mengusung tagline #LadorCanDoMore. Ini merupakan komitmen La’dor Indonesia untuk mendukung gerakan keberlanjutan demi masa depan yang lebih baik. Dengan skema produk bundling, La’dor mendorong setiap konsumen atau masyarakat yang membeli satu produk La’dor untuk ikut berpartisipasi dalam penanaman pohon. Bersama dengan LindungiHutan, La’dor telah berhasil menanam 2000 bibit pohon alpukat di Jabungan Kota Semarang dan 5001 bibit mangrove di Desa Bedono Kabupaten Demak pada tahun 2023.

Selain itu, PT Santos Jaya Abadi dengan merek ABC, Kapal Api, dan lainnya juga berkontribusi dalam upaya CSR lingkungan melalui kampanye alam “#BergerakUntukBumi” pada tahun 2021. Pada kesempatan ini, perusahaan ini berhasil menanam 637 bibit mangrove di Pesisir Tambakrejo, Kota Semarang. Selanjutnya,ada juga emiten bernama P&G Indonesia yang mengoperasikan merek-merek seperti Downy, Heads and Shoulders, Pantene, dan lainnya, juga memperkenalkan dua program saat acara Indonesia Sustainability Forum 2023. Program pertama melibatkan beberapa merek seperti Vick, Gillette, dan Oral B, dengan cara mengajak konsumen untuk membawa sampah-sampah ke toko distributor rekanan guna mendapatkan insentif. Program kedua memberikan dukungan untuk kegiatan belajar-mengajar melalui daur ulang kemasan plastik P&G. P&G Indonesia berharap bahwa langkah-langkah ini akan secara konsisten mengurangi jumlah sampah plastik di Indonesia.

Terakhir, PT Unilever Indonesia, yang merupakan salah satu penyumbang terbesar sampah plastik di Indonesia, juga dikenal sebagai salah satu emiten yang menerapkan konsep ESG (Environmental, Social, and Governance) terbaik di Indonesia. Khususnya dalam aspek lingkungan, Unilever Indonesia telah mengimplementasikan beberapa program CSR. Ini termasuk inisiatif pengemasan berkelanjutan dengan berbagai skema seperti penggunaan plastik yang lebih sedikit, plastik yang lebih baik, bahkan tanpa plastik. Selain itu, mereka juga berupaya mengurangi jejak karbon melalui penggunaan sumber energi terbarukan dan berbagai upaya pengurangan emisi lainnya. Unilever Indonesia juga fokus pada pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan melalui pertanian dengan prinsip-prinsip regeneratif, serta mengelola limbah dengan target nol persen pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir (landfill). Melalui jaringan bank sampah di 50 kota/kabupaten dan 11 provinsi, mereka telah berhasil mengumpulkan sekitar 62.360 ton limbah plastik. Selain itu, mereka juga mengubah plastik daur ulang pasca konsumen menjadi teknologi bahan bakar turunan dari sampah (Refuse Derived Fuel/RDF). Hasilnya, pada bulan Juli 2023, PT Unilever Indonesia mendapatkan penghargaan ESG Award 2023 dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) sebagai pengakuan atas komitmen tinggi mereka terhadap investasi berkelanjutan.

PT. Unilever Indonesia, sebuah perusahaan terkemuka dalam sektor Barang Konsumen Cepat Bergerak (FMCG) di Indonesia, dikenal atas produk-produknya yang laris manis dengan harga yang terjangkau, yang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penggunaan produk-produk ini secara rutin telah menimbulkan keprihatinan terhadap dampak lingkungan yang muncul dari limbah kemasan yang tidak terpakai. Program Dukungan Bank Sampah adalah salah satu inisiatif yang ditujukan untuk mengurangi dampak lingkungan yang timbul akibat penggunaan produk perusahaan tersebut. Sesuai dengan informasi yang terdapat di situs resmi www.unilever.co.id, PT. Unilever Indonesia berkomitmen untuk memastikan bahwa bisnisnya tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat atau lingkungan, dengan menjadikan pertumbuhan berkelanjutan sebagai satu-satunya model bisnis yang diadopsi.

PT. Unilever Indonesia memiliki program Keberlanjutan atau Sustainability yang dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Rencana Hidup Berkelanjutan Unilever (USLP). USLP pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 dan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan, mengurangi dampak lingkungan, dan meningkatkan manfaat sosial yang positif melalui berbagai cara. Ini mencakup tujuan mulia seperti mengurangi biaya bisnis, mengurangi kerusakan lingkungan, dan membangun kepercayaan di kalangan para pemangku kepentingan PT. Unilever Indonesia. USLP juga dianggap sangat penting dalam melindungi dan meningkatkan reputasi PT. Unilever Indonesia. USLP memiliki tiga tujuan utama: hingga tahun 2020, PT. Unilever Indonesia bertujuan untuk membantu satu miliar atau lebih individu meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka sambil memastikan pasokan bahan baku yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan di seluruh rantai bisnis PT. Unilever Indonesia. Selain itu, hingga tahun 2030, PT. Unilever Indonesia berusaha mengurangi jejak lingkungan dari produknya sebesar setengahnya sambil tetap menjalankan operasinya.

Pada tahun 2001, PT. Unilever Indonesia memulai program Brantas Bersih di Jambangan, Surabaya. Program ini merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam mengelola sampah, melakukan penanaman tanaman, dan meningkatkan kehijauan di lingkungan mereka. Sampah organik diubah menjadi pupuk, sementara sampah anorganik dijadikan berbagai produk kerajinan. Pada tahun 2006, program ini mencapai kesuksesan dengan menciptakan lingkungan bebas sampah di Jambangan, dan Surabaya meraih penghargaan Adipura. Keberhasilan ini mendorong PT. Unilever Indonesia untuk memperluas program lingkungannya ke berbagai wilayah lain di Indonesia, termasuk melalui program Bank Sampah, yang memberikan pelatihan dan bimbingan dalam pengelolaan bank sampah berbasis komunitas.

Hingga akhir tahun 2018, program ini telah berhasil mendirikan 2.816 bank sampah dengan total 429.519 nasabah yang tersebar di 12 wilayah. Dari jumlah tersebut, 36 bank sampah telah melangkah menjadi Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berfokus pada pengelolaan sampah, dan 138 bank sampah telah terdaftar dalam platform digital. Dalam aspek ekonomi, program Bank Sampah berhasil menciptakan manfaat sebesar Rp. 10,49 miliar pada tahun 2018. Selain itu, pada tahun 2014, PT. Unilever Indonesia juga meraih berbagai penghargaan, termasuk gelar “Manajemen Bank Sampah yang Independen dan Terintegrasi Untuk Menciptakan Lingkungan yang Sehat dan Pemberdayaan Ekonomi Bagi Masyarakat” dalam acara MDG’s Awards, gelar “CSR Programme of The Year” dalam acara Stevie Awards, dan gelar “Best Corporate Social Responsibility (CSR)” dalam acara Asia Money.

Conclusions

Menanggulangi tantangan keberlanjutan di sektor FMCG memerlukan kerja sama yang baik antara pemerintah, perusahaan, maupun konsumen. Pemerintah harus memberikan kebijakan dan insentif bagi produsen maupun konsumen yang mendukung sustainability. Perusahaan harus mau berinovasi, keluar dari zona nyaman dan berinisiatif dalam menjalankan praktek bisnis yang berkelanjutan mulai dari tahap produksi hingga penjualan. Sementara konsumen atau masyarakat harus memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi dan mendukung pemerintah serta pengusaha dengan memilih produk ramah lingkungan demi menjaga kelestarian lingkungan. Dengan demikian emiten-emiten FMCG yang mengutamakan sustainability akan memiliki value lebih tinggi di masa depan dibanding emiten yang tidak melakukan inisiatif.

References

Bil Wahid. (August 2, 2023). Cara P&G Indonesia Tangani Sampah Plastik, Bikin Penghasilan Warga Bertambah. ANTV Klik. Retrieved from https://www.antvklik.com/berita/595443-cara-pg-indonesia-tangani-sampah-plastik-bikin-penghasilan-warga-bertambah?page=all

Francisca Bertha Vistika. (2023, September 8). P&G Indonesia Hadirkan 2 Program Baru Keberlanjutan Lingkungan. Kontan.

M. Ubaidilah. (May 17, 2023). Upaya FMCG Multinasional Ini Realisasikan Keberlanjutan Lingkungan. SWA. Retrieved from https://swa.co.id/swa/csr-corner/upaya-fmcg-multinasional-ini-realisasikan-keberlanjutan-lingkungan

Maulina Ulfa. (January 18, 2023). Mewujudkan Komitmen Industri Ritel FMCG dalam Mengurangi Sampah Plastik. Green Network. Retrieved from https://greennetwork.id/unggulan/mewujudkan-komitmen-industri-ritel-fmcg-dalam-mengurangi-sampah-plastik/

PPID. (May 23, 2018). KLHK Dampingi Pemerintah daerah Tuntaskan Amanat Presiden Agar Indonesia Bebas Sampah 2025. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Retrieved from https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/4229/klhk-dampingi-pemerintah-daerah-tuntaskan-amanat-presiden-agar-indonesia-bersih-sampah-2025

Reza Pahlevi. (August 11, 2022). Ini Perusahaan-Perusahaan FMCG Indonesia Pencemar Plastik. Databooks. Retrieved from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/08/11/ini-perusahaan-perusahaan-fmcg-indonesia-pencemar-plastik

PT. Unilever Indonesia. (2022). Sustainability Report PT Unilever Indonesia Tahun 2022.

Kusumawardani, Putri Ayu Delia. (2020). Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Unilever Indonesia melalui program bank sampah. Diploma thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Pramitha, I.A.Y., & Sudana, I P. (2021). Pengungkapan Corporate Social Responsibility, Kinerja Lingkungan dan Nilai Perusahaan. E-Jurnal Akuntansi, 31(3), 615-634.

Sitorus, G.C.T., & Mangoting, Y. (2014). Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Profit Perusahaan Consumer Goods di Indonesia Tahun 2010 – 2012, 4(1).

Prabowo, H. N., & Sigit, M. (2023). Analisis Niat Beli Produk Ramah Lingkungan Pengaruh dari Pengiklanan dan Citra Merek Produk The Body Shop dengan Mediasi Kesadaran Hijau: Studi Masyarakat di Indonesia . Selekta Manajemen: Jurnal Mahasiswa Bisnis & Manajemen, 2(1), 24–39. Retrieved from https://journal.uii.ac.id/selma/article/view/27482

Salsabila, Ana. (2023, Maret 13). 5+ Perusahaan FMCG yang Berkolaborasi dengan Lindungi Hutan. Blog LindungiHutan.

BPS. (2023). Nilai Pengeluaran Konsumsi Menurut Golongan Rumah Tangga – Tabel Statistik. Badan Pusat Statistik. Retrieved May 2, 2024, from https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/Njc4IzI=/nilai-pengeluaran-konsumsi-menurut-golongan-rumah-tangga.html

Herbalife. (2022, June 20). Asia Pacific Nutrition Sustainability Survey. Herbalife. Retrieved May 2, 2024, from https://www.herbalife.com/en-sg/about-herbalife/press-room/press-releases/survey-consumer-sustainability-diet-products

Nugraha, D. W. (2017, November 9). Ongkos ESG Tinggi Jadi Penyebab Pendanaan Belum Terserap. Retrieved May 2, 2024, from https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/11/30/ongkos-penerapan-esg-tinggi-jadi-penyebab-banyaknya-pendanaan-belum-terserap

Pahlevi, R. (2022, August 11). Ini Perusahaan-perusahaan FMCG Indonesia Pencemar Plastik. Databoks. Retrieved May 2, 2024, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/08/11/ini-perusahaan-perusahaan-fmcg-indonesia-pencemar-plastik

Pamungkas, G. I. (2015, 12 03). PENGARUH GREEN PRODUCT DAN GREEN ADVERTISING TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN LAMPU LED PHILIPS DI JEMBER. http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/66166Sukendar, H. (2013, November 2). HUBUNGAN ANTARA KELESTARIAN EKONOMI DAN LINGKUNGAN: SUATU KAJIAN LITERATUR. BINUS BUSINESS REVIEW, 4(2)

Written by:

Investment Studies Division

Daffa Dzakwan Jamal

daffa.dzakwan@ui.ac.id

Azkiya Fathul Mawaddah

azkiya.fathul@ui.ac.id

Muhammad Dzaky Farhan

muhammad.dzaky24@ui.ac.id

Jonathan Adrian

jonathan.adrian@ui.ac.id

Published by:

Operation and Infrastructure Division

Adhimas Arbita Naufal

adhimas.arbita@ui.ac.id