Published on December 2nd, 2022
Rupiah Depreciation: The Impact of The Fed’s Hawkish Monetary Policy and Its Threat to Property Stocks
Pendahuluan
Pada tahun 2022, kasus COVID-19 relatif melandai sehingga hal ini menyebabkan adanya harapan dari pandemi jadi endemi. Namun, ketika terdapat harapan, perang Rusia-Ukraina muncul. Perang Rusia-Ukraina ini menyebabkan permasalahan baru yang tak kalah besar seperti kenaikan harga energi yang menyebabkan adanya krisis energi di beberapa negara. Kondisi ini disebabkan karena terhambatnya pasokan energi dan terganggunya supply
chain mengingat Rusia merupakan produsen minyak terbesar ke 3 dunia dengan produksi minyak yang mencapai 10,94 juta barel per hari (BP Statistical Review 2022).
Terhambatnya pasokan energi dan terganggunya supply chain ini menyebabkan berbagai dampak perekonomian, salah satunya inflasi di berbagai negara termasuk Amerika Serikat. Tercatat, pada bulan Juli 2022, inflasi Amerika Serikat mencapai level tertinggi dalam 41 tahun terakhir dimana Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI) Amerika
Serikat mencapai 9,1% secara tahunan (year-on-year atau yoy). Level ini jauh di atas nilai forecasting beberapa ekonom seperti Dow Jones yang memperkirakan level inflasi sebesar 8,8%.
Inflasi yang mencapai level tertinggi dalam 41 tahun terakhir ini menyebabkan otoritas moneter Amerika Serikat yaitu The Fed harus mengambil suatu kebijakan untuk mengatasi masalah inflasi tersebut karena level inflasi yang tinggi tersebut merupakan sebuah ancaman bagi negara Amerika Serikat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan moneter hawkish oleh The Fed untuk mereda level inflasi tersebut. Alhasil, tercatat The Fed menaikkan suku bunga secara
agresif dan beruntun pada tahun 2022. The Fed secara agresif menaikkan suku bunga sebanyak enam kali dengan rincian menaikkan suku bunga sebesar 25 bps pada Maret 2022, 50 bps pada Mei 2022, 75 bps pada Juni 2022, 75 bps pada Juli 2022, 75 bps pada September 2022, dan 75
bps pada November 2022.
![](https://kspmfebui.com/wp-content/uploads/2024/07/image-4.jpeg)
Gambar 1. Grafik Suku Bunga The FED; Sumber: tradingeconomics
Kebijakan hawkish yang dilakukan oleh The Fed ini menyebabkan tawaran imbal hasil produk simpanan perbankan Amerika Serikat relatif lebih tinggi daripada tawaran imbal hasil produk simpanan perbankan negara lain. Tawaran imbal hasil produk simpanan perbankan dari Amerika Serikat yang lebih tinggi berpotensi menyebabkan terjadinya capital outflow dari negara berkembang ke negara maju dan membuat dolar AS menyandang status safe haven sebagai primadona. Hal tersebut tercermin dari indeks dolar AS yang mengalami penguatan hingga ke level tertinggi 20 tahun terakhir, yaitu berada pada level 110,37 pada 7 September 2022 atau mengalami penguatan sebesar 18,1% (year-to-date / ytd) selama tahun 2022.
![](https://kspmfebui.com/wp-content/uploads/2024/07/image-6.jpeg)
Gambar 2. Indeks Dolar AS; Sumber: Putu Agus (Refinitiv)
Kenaikan indeks dolar AS ini mengindikasikan penguatan mata uang dolar AS.
Penguatan mata uang dolar AS ini berpotensi memberi tekanan depresiasi terhadap nilai tukar negara lain, termasuk Indonesia. Bank Indonesia selaku otoritas moneter negara Indonesia mencatat bahwa kinerja rupiah telah terdepresiasi 8,03% hingga 19 Oktober 2022 year-to-date dibandingkan level akhir 2021. Namun, depresiasi rupiah tercatat relatif lebih baik dibandingkan
dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 10,42%, Malaysia 11,75%, dan Thailand 12,55%. Berdasarkan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, pelemahan nilai tukar rupiah ini disebabkan oleh peningkatan ketidakpastian global financial market serta modal asing yang keluar dalam bentuk portofolio. Lebih jelas, beliau mengatakan investasi portofolio diperkirakan mencatat net outflow sebesar US$2,1 milliar pada kuartal III tahun 2022.
Untuk menjaga stabilitas makroekonomi karena depresiasi rupiah, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 19-20 Oktober 2022 memutuskan untuk menaikkan BI7DRR (BI 7-Day Reverse Repo Rate) sebesar 50 bps menjadi 4,75%, suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps menjadi 5,50%. Hal ini merupakan salah satu kebijakan moneter hawkish yang dilakukan oleh Bank Sentral Indonesia.
Kebijakan moneter hawkish yang dilakukan oleh Bank Sentral Indonesia selaku otoritas moneter Indonesia merupakan hal yang penting mengingat depresiasi rupiah memiliki berbagai potensi ancaman. Salah satu potensi ancaman dari depresiasi rupiah adalah terhadap perkembangan perekonomian Indonesia terutama sektor properti pada pasar modal Indonesia.
Di tengah-tengah isu kenaikan bunga KPR yang semakin gencar, depresiasi rupiah justru menambah beban bagi sederet emiten di sektor properti. Terbukti, tren pergerakan harga indeks saham properti di IHSG berbanding terbalik dengan pergerakan harga mata uang AS terhadap rupiah dalam jangka waktu satu tahun terakhir. Per tanggal 15 November 2022, indeks saham properti (IDX: IDXPROPERT) memiliki tren menurun, sedangkan USD/IDR memiliki tren yang cenderung meningkat.
![](https://kspmfebui.com/wp-content/uploads/2024/07/image.png)
Gambar 3. Grafik Pergerakan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan Indeks Gabungan Emiten Properti di IHSG
Sumber: Tradingview
Peristiwa seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya, tepatnya pada tahun 2012 silam. Pada saat itu, nilai tukar rupiah sempat menguat yaitu dari 9.109 pada bulan Januari kemudian mengalami apresiasi di bulan Februari menjadi 9.025 pada saat yang bersamaan indeks harga
saham sektor properti dan real estate justru menurun dari level 229,25 di bulan Januari menjadi 217,17 di bulan Februari. Namun, pada bulan-bulan selanjutnya, nilai tukar rupiah terus melemah hingga bulan Desember 2012 (nilai tukar rupiah berada pada kisaran 9.645). Dalam kurun waktu yang bersamaan, indeks harga saham sektor properti dan real estate justru berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Lalu, sebenarnya apa korelasi antara
depresiasi rupiah terhadap kinerja emiten sektor properti?
Sektor properti merupakan salah satu industri dengan komposisi utang yang cukup tinggi dibanding sektor lain. Berdasarkan data dari CNBC Indonesia dan RTI Business, rasio (DER) Debt-to-Equity pada industri properti berada pada angka 136,81%. Adapun, terdapat beberapa perusahaan yang memiliki DER di atas rata – rata industri properti tersebut yakni APLN, LPKR, SMRA, dan MDLN. Sayangnya, komposisi utang yang cukup tinggi tersebut tidak hanya berasal
dari dalam negeri saja, tetapi juga berasal dari luar negeri.
![](https://kspmfebui.com/wp-content/uploads/2024/07/image-1.png)
Gambar 4. Debt-to-Equity Ratio dari Beberapa Emiten Properti di IHSG Sumber: https://www.idx.co.id/
Berdasarkan laporan dari Moody’s Investor Service pada beberapa waktu lalu, depresiasi rupiah berpotensi merepotkan developer atau para pengembang properti di Indonesia dalam menanggung beban bunga dan pokok utang dalam kurs dolar. Pasalnya, hampir seluruh pemasukan & pendapatan yang diperoleh perusahaan menggunakan mata uang rupiah. Mengacu pada laporan keuangan perusahaan kuartal III tahun 2022, beberapa emiten, seperti MDLN, ASRI, PWON dan LPKR memiliki proporsi utang dalam mata uang asing (liabilitas moneter) mencapai lebih dari 40%. Sementara itu, untuk emiten BSDE dan APLN memiliki proporsi sedikit lebih baik, yaitu di kisaran 28%.
![](https://kspmfebui.com/wp-content/uploads/2024/07/image-2.png)
Gambar 5. Persentase Liabilitas Moneter Terhadap Keseluruhan Liabilitas
Sumber: https://www.idx.co.id/
Berdasarkan laporan dari Moody’s Investor Service disebutkan bahwa empat emiten, di antaranya MDLN, APLN, PWON, dan LPKR memiliki fasilitas lindung nilai (hedging) ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi. Emiten-emiten tersebut memiliki lindung nilai keuangan dalam bentuk fasilitas non-deliverable call spread option untuk melindungi nilai pokok utang dalam dolar AS. Apabila nilai tukar rupiah terdepresiasi ke level Rp16.310 per US$, 57% dari utang dalam mata uang dolarnya dapat terproteksi. Namun, jika nilai tukar rupiah terdepresiasi menembus level Rp17.000 per US$, proporsi utang denominasi dolar yang terlindungi hanya 47%.
Di samping itu, laporan tersebut juga menguji sensitivitas kinerja keuangan emiten terhadap volatilitas nilai tukar rupiah. Alhasil, diperoleh bahwa emiten yang memiliki risiko rendah jika rupiah terdepresiasi adalah PWON dan BSDE dengan alasan bahwa kedua emiten tersebut memiliki saldo kas (likuiditas) dalam dolar dengan jumlah besar. Lebih lanjut, LPKR juga telah melakukan lindung nilai atas pembayaran bunga obligasi senilai US$ 417 juta pada tahun 2026.
Dengan demikian, sebagian besar developer dinilai perlu “gerak cepat” dalam melindungi nilai utangnya (hedging) serta memiliki ruang likuiditas yang cukup tinggi untuk menahan biaya bunga & pokok utang yang membengkak jika rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar AS.
![](https://kspmfebui.com/wp-content/uploads/2024/07/CME-13-819x1024.png)
Written by:
Research and Development Division
Dwinala Berryl Yustisio
dwinala.berryl@ui.ac.id
Timothy Freditio Tampubolon
timothy.freditio@ui.ac.id
Published by:
Operation and Infrastructure Division
Sellyn Nayotama