Published on July 7th, 2022

Indonesia’s Capital Market in A Nutshell

Selama beberapa waktu ke belakang, inflasi yang melanda Amerika Serikat semakin mengkhawatirkan. Bahkan pada bulan Mei 2022, inflasi di Amerika Serikat menyentuh titik tertinggi (8,6% YoY) dalam kurun waktu 41 tahun terakhir. Menyikapi inflasi yang semakin parah, The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, memutuskan untuk melakukan tapering off. Tapering off sendiri merupakan pengurangan stimulus moneter yang dilakukan oleh bank sentral ketika perekonomian tengah terancam. Tindakan yang dilakukan oleh The Fed yakni dengan meningkatkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bp) atau 0,75% menjadi 1,5%-1,75%. Secara definisi, suku bunga The Fed (federal funds rate) merupakan suku bunga antarbank sebagai biaya pinjam-meminjam cadangan bank (bank reserves) yang ditempatkan oleh perbankan umum kepada bank sentral Amerika Serikat, The Fed, dalam durasi semalam. Suku bunga ini lantas menjadi acuan bagi bank umum dalam menentukan suku bunga simpanan dan pinjaman. Keputusan kenaikan tingkat suku bunga yang ditempuh oleh The Fed pada Rabu (15/06/2022) menjadi kenaikan paling agresif yang pernah dibuat sejak November 1994. Lebih lanjut, kenaikan tingkat suku bunga acuan merupakan salah satu upaya dalam menerapkan tight money policy dimana kebijakan ini tidak hanya berdampak pada kegiatan simpan-pinjam di bank saja, tetapi juga bagi dunia pasar modal. Lantas, bagaimana penjelasan fenomena kenaikan suku bunga oleh The Fed sebagai bentuk kebijakan kontraktif ekonomi terhadap pasar modal?

Pandemi COVID-19 yang melanda menyebabkan disrupsi multidimensional, dimana perekonomian pun tidak luput terkena imbas negatif. Perekonomian yang lesu mendorong The Fed menerapkan berbagai penyesuaian kebijakan. The Fed memotong federal funds rate hingga ke titik mendekati 0%, dimana penurunan cost of borrowing bagi rumah tangga dan bisnis ini bertujuan untuk mendorong pengeluaran. Sebagai respon menghadapi COVID-19, The Fed menerapkan quantitative easing (QE), yakni pembelian skala besar terhadap aset jangka panjang, seperti surat utang pemerintah, treasury, dan mortgage-backed securities dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini diterapkan diharapkan dapat mendukung fungsi pasar dan memperkuat pemulihan ekonomi. Penerapan quantitative easing yang diterapkan oleh The Fed meningkatkan jumlah sekuritas, yakni melonjak hingga $4,5 triliun dalam kurun dua tahun antara Maret 2020 dan Maret 2022. Dalam kurun waktu yang sama pula, jumlah mata uang beredar meningkat dari $1,8 miliar hingga $2,3 miliar. 

Akan tetapi, pemberlakuan kebijakan quantitative easing secara agresif membawa dampak negatif pada laju pertumbuhan inflasi yang tinggi. Pada akhir tahun 2021, tingkat inflasi di Amerika Serikat melebihi 2% dari target The Fed. Melalui pertemuan pada bulan Desember 2021, The Federal Open Market Committee (FOMC) memutuskan untuk memulai mempercepat kebijakan tapering off dengan mengurangi pembelian hingga $20 miliar pada obligasi treasury dan $10 miliar pada obligasi mortgage-backed securities setiap bulannya. Lebih lanjut, melalui pertemuan pada akhir tahun 2021, FOMC juga memberikan sinyal bahwa suku bunga acuan akan ditingkatkan pada tahun 2022. Langkah The Fed untuk mempercepat kebijakan tapering off pun dilakukan mengingat kondisi perekonomian yang sudah berangsur-angsur pulih. Oleh karena itu, The Fed merasa sudah saatnya mengubah kebijakan yang diterapkan dari quantitative easing menjadi tapering off dalam menghadapi laju inflasi yang kian tinggi.

Efek Kebijakan Moneter Kontraktif pada Ekonomi 

Dalam teori ekonomi, terdapat empat fase dalam siklus bisnis yang menunjukan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek (short-run fluctuations). Keempat fase tersebut adalah recession, depression, recovery, dan expansion/boom. Visualisasi mengenai keempat fase ini dapat dilihat dalam grafik di bawah ini. 

Pada saat ekonomi mencapai fase depresi (trough), bank sentral akan memberlakukan kebijakan quantitative easing (QE) guna menambah likuiditas dalam perekonomian. Hal ini dilakukan untuk reaktivasi ekonomi dan meningkatkan tingkat employment. Peningkatan aktivitas perekonomian yang disebabkan oleh QE akan berangsur-angsur memulihkan jumlah permintaan agregat terhadap barang dan jasa (masa recovery). Namun, peningkatan permintaan agregat seringkali tidak berbanding lurus dengan peningkatan penawaran (supply) dari produsen. Selain itu, peristiwa pandemi COVID-19 menimbulkan disrupsi terhadap rantai supply global. Oleh karena itu, hal-hal tersebut menimbulkan fenomena supply shock yang menaikkan harga barang dan jasa, atau yang biasa disebut dengan istilah inflasi. Di kala perekonomian menyentuh tahapan expansion, inflasi akan mencapai titik yang cukup tinggi. Pada saat ini, umumnya bank sentral akan menghentikan stimulus ekonomi dan mulai memberlakukan tight money policy (tapering) guna menangkal inflasi.

Selain menurunkan jumlah pembelian obligasi, bank sentral juga dapat menggunakan instrumen diskonto (discount rate). Tingkat bunga akan dinaikkan guna menahan laju inflasi yang cukup tinggi di fase expansion. Peningkatan tingkat bunga akan meningkatkan borrowing cost bagi pihak yang hendak melakukan investasi, sehingga hal ini akan mendorong orang untuk melakukan saving. Alhasil, tingkat investasi menjadi menurun seiring dengan naiknya kecenderungan untuk melakukan saving.

Otoritas Jasa Keuangan melalui Direktorat Pasar Modal Syariah telah menyusun suatu  pedoman dalam pengembangan pasar modal syariah yang berjudul “Roadmap Pasar Modal  Syariah 2015-2019” dengan tagline “Membangun Sinergi untuk Pasar Modal Syariah yang  Tumbuh, Stabil, dan Berkelanjutan”. Adapun buku tersebut mengandung lima arahan utama bagi  para pembuat kebijakan pada saat itu untuk memajukan pasar modal syariah di Indonesia. Kelima  arahan utama tersebut adalah: 

Taper Tantrum Syndrome 

Mengutip dari situs Investopedia, taper tantrum merupakan reaksi kepanikan kolektif yang memicu adanya lonjakan imbalan hasil U.S. Treasury. Reaksi muncul saat The Fed (bank sentral Amerika Serikat) memutuskan untuk menerapkan kebijakan “tightening” guna mengurangi stimulus ekonomi (Quantitative Easing [QE]) yang diberikan pada masa resesi ekonomi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pengurangan stimulus ekonomi dilakukan pada saat indikator ekonomi menunjukan adanya kenaikan aktivitas ekonomi dan employment level menuju tingkatan normal. 

Kebijakan tapering off yang diterapkan The Fed pada masa pasca pandemi COVID-19 menimbulkan “trauma” akan memori 2013 silam. Mantan ketua Federal Reserve, Ben Bernanke, mengumumkan bahwa bank sentral Amerika Serikat akan mengurangi pembelian obligasi secara gradual. Pernyataan ini menimbulkan reaksi negatif investor obligasi terhadap prospek investasi. The Fed yang berperan sebagai pembeli utama memutuskan untuk mundur perlahan dari perannya tersebut. Dalam teori ekonomi, pengurangan akan permintaan akan menurunkan tingkat harga. Oleh sebab itu, terjadi penjualan obligasi massal yang bermuara pada turunnya bond price. Reaksi investor yang terjadi pada tahun 2013 menghasilkan beberapa perubahan dalam tiga sektor investasi, yaitu pasar obligasi, pasar saham, serta dolar AS dan pasar negara berkembang (emerging markets). Mengutip Investopedia, pasar obligasi mengalami perubahan dalam kenaikan jumlah penjualan obligasi yang dimiliki oleh para investor. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan harga dan peningkatan imbal hasil (yields). Imbal hasil dari 10-years-old U.S. Treasury meningkat dari kisaran 2% di Mei 2013, menjadi sekitar 3% di bulan Desember 2013. Di sektor lain, volatilitas terjadi pada pasar saham setelah pengumuman tapering off Bernanke. Indeks saham utama seperti S&P 500 dan Dow Jones juga mengalami aksi jual. Walaupun begitu, keduanya berhasil pulih dan mengakhiri tahun dengan kenaikan masing-masing 10,74 persen dan 7,73 persen. Terakhir, pengumuman tapering off Bernanke juga memberikan efek pada perkembangan ekonomi pada pasar negara berkembang (emerging markets [EM]). Negara-negara EM biasanya menggunakan anggaran defisit sehingga cukup bergantung pada pendanaan yang berasal dari pinjaman luar negeri. Pernyataan Bernanke meningkatkan insentif investor untuk mengalihkan dana mereka ke U.S. debt market. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya pendanaan untuk pasar negara berkembang. Selain itu, kenaikan capital inflow ke negara Amerika akan menyebabkan penurunan net capital outflow (NCO). Penurunan NCO ini akan bermuara pada kenaikan real exchange rate dolar Amerika. Dengan kata lain, dolar Amerika mengalami apresiasi yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa AS. Alhasil, neraca pembayaran negara-negara EM menjadi semakin tertekan.

Efek Kenaikan Suku Bunga Terhadap Stock Market 

Peningkatan suku bunga (interest rate) akan meningkatkan borrowing cost yang dibebankan pada institusi perbankan. Dengan demikian, perbankan akan mulai menaikkan interest rate atas pinjaman yang diajukan oleh para nasabah. Kenaikan credit card atau mortgage interest rates akan semakin menambah beban bagi nasabah lama dan menambah cost bagi nasabah baru. Alhasil, hal ini tentunya akan berdampak negatif pada pengurangan insentif untuk melakukan pinjaman maupun konsumsi. 

Insentif yang berkurang untuk melakukan pinjaman atau konsumsi akan menghasilkan perubahan pada titik ekuilibrium pasar yang disebabkan oleh turunnya permintaan agregat. Penurunan permintaan agregat (aggregate demand [AD]) akan berdampak negatif pada aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Pendapatan (revenue) dan keuntungan (profit) yang diterima oleh perusahaan akan berkurang. Perusahaan pun pada akhirnya akan melakukan berbagai cara untuk mengurangi “rugi” yang didapatkan pada masa ini. Adapun cara yang biasa ditempuh oleh perusahaan adalah dengan melakukan lay-off masal, atau dengan pengurangan jumlah produksi. 

Pendapatan dan keuntungan yang menurun akibat peningkatan suku bunga akan membuat perusahaan terlihat less profitable di mata calon investor. Calon investor akan mengasumsikan bahwa perusahaan akan mengalami kenaikan dalam debt expenses dan penurunan revenue. Selain itu, perusahaan juga diasumsikan mengalami penurunan terhadap future cash flow. Ceteris paribus, segala asumsi ini akan menurunkan harga saham perusahaan tersebut. 

Perkembangan Terkini pada Pasar Saham 

Dalam kurun waktu kurang dari satu minggu pasca pengumuman kenaikan suku bunga oleh The Fed, pasar saham Amerika Serikat menunjukkan pergerakan positif selama empat hari perdagangan yang dimulai sejak 21 hingga 24 Juni 2022. Fenomena green friday terjadi pada keseluruhan indeks, dimana peningkatan terjadi mulai dari Nasdaq Composite (+3,34%), S&P 500 (+3,1%), hingga Dow Jones Industrial Index (+2,7%). Lebih lanjut, persentase peningkatan indeks-indeks tersebut dalam kurun waktu empat hari perdagangan secara berturut-turut, yakni 7,5%, 6,4%, dan 5,4%. 

Meskipun mencatatkan peningkatan yang cukup signifikan dalam pekan tersebut, pasar saham AS masih berada pada tren bearish. Menilik indeks saham 500 perusahaan besar di AS, indeks S&P 500 saat ini telah mengalami penurunan 18,45% secara year-to-date dalam sepekan perdagangan. Tidak hanya itu, penurunan indeks S&P 500 mencapai 13,7% sejak kuartal II hingga penutupan perdagangan pada 24 Juni 2022. Saat ini, S&P 500 ditutup pada level yang rendah. Bahkan jika keadaan ini terus berlanjut hingga akhir kuartal II 2022, Sam Stovall menyatakan bahwa indeks S&P 500 pada semester satu 2022 akan mencapai level harga terburuk sejak tahun 1970. 

Beralih pada keadaan pasar saham dari dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pergerakan positif sepanjang perdagangan 20-24 Juni 2022. IHSG ditutup menguat 1,53% atau berada di level 7,042. Keadaan tersebut mengalami peningkatan dibanding penutupan pekan sebelumnya yang berada pada level 6,936. Lebih lanjut, investor asing pada perdagangan Jumat mencatatkan net foreign sell sebesar Rp1,08 triliun sehingga total transaksi selama pekan tersebut mencapai Rp4,2 triliun. 

Meskipun mencatatkan net foreign sell yang cukup tinggi selama sepekan terakhir, pasar saham dalam negeri merupakan pasar yang mencatatkan capital inflow tertinggi di Asia Pasifik secara year-to-date, dengan total sebesar US$4,8 miliar. Raihan aliran modal asing ini turut tercermin pada net foreign buy di pasar saham yang mencapai Rp65,03 triliun secara year-to-date hingga penutupan Jumat ini (Azka, 2022). 

Efek Kenaikan Suku Bunga terhadap Pasar Obligasi 

Terdapat hubungan yang berlawan arah antara suku bunga dan harga sebuah obligasi. Ketika suku bunga meningkat, harga obligasi menurun (dan sebaliknya). Umumnya, obligasi dengan tenor yang lebih panjang lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga. Hal ini terjadi karena investor harus menanggung risiko yang lebih tinggi dengan ‘mengunci’ dananya dalam jangka yang panjang (Investopedia, 2022) 

Yield US 10-years Treasury mengalami pelemahan selama sepekan perdagangan 20-24 Juni menuju kisaran 3,1%. Pelemahan ini memang mengindikasikan terjadi peningkatan  terhadap harga obligasi AS. Namun apabila dilihat dari periode yang lebih panjang, posisi ini sebenarnya berada di level yang lebih rendah dibanding pekan sebelumnya yang berada di kisaran 3,5%, hampir mendekati level tertinggi tahun 2011 yang pada saat itu harga obligasi AS mengalami pelemahan yang sangat dalam. Pada periode perdagangan yang sama, US 30-years Treasury mengalami penguatan yield dari pekan sebelumnya pada 3,282% menjadi 3,265% pada penutupan Jumat, 24 Juni 2022. Penguatan yield mengindikasikan bahwa terjadi penurunan harga obligasi AS bertenor 30 tahun. 

Beralih ke dalam negeri, hingga kini Bank Indonesia masih mempertahankan tingkat suku bunga acuan yang ada meskipun di tengah keputusan The Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga. Menurut Kepala Departemen Riset dan Informasi Pasar, Penilai Harga Efek Indonesia, Roby Rushandie, kondisi tersebut diprediksi akan menjadi sentimen positif bagi 10 years yield SBN dalam jangka pendek. Walaupun demikian, pasar obligasi Indonesia secara keseluruhan masih menghadapi ancaman sebab kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed dapat memicu naiknya yield US Treasury. Kenaikan yield US Treasury yang terjadi dapat berakibat pada menyempitnya selisih (spread) antara US Treasury dan SBN dalam negeri. Lebih lanjut, menyempitnya selisih yang terus menerus terjadi menyebabkan investor lebih tertarik untuk mengalihkan dananya ke AS sebagai negara maju yang dinilai lebih aman dibandingkan menyimpan dana di SBN. 

Tanggapan Praktisi 

Meskipun tapering off yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat berpotensi memberikan guncangan terhadap ekonomi internasional, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, berpendapat bahwa pengurangan likuiditas yang dilakukan pada tahun 2022 memiliki dampak yang tak sebesar seperti yang terjadi di tahun 2013. Perry menilai bahwa The Fed telah dengan telah menyosialisasikan rencananya dengan baik sehingga market dapat melakukan tindakan antisipasi untuk meminimalisisasi dampak kebijakan. Meskipun upaya tapering off yang dilakukan The Fed berdampak banyak ke dunia internasional, Gubernur Bank Indonesia, Perry Wijaya, menilai bahwa dampak dari tapering off pada tahun 2022 tidak akan berdampak sebesar taper tantrum pada tahun 2013 lalu. Keterbukaan The Fed dalam menyosialisasikan rencana moneter kepada publik dinilai merupakan langkah yang baik karena memberi waktu lebih awal bagi bank sentral negara lain untuk melakukan tindak antisipasi. Menurut Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, Indonesia berada pada posisi yang aman dari dampak normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan The Fed. 

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudistira, kenaikan suku bunga oleh The Fed memiliki beberapa dampak yang perlu diwaspadai, di antaranya, menyempitnya yield antara surat utang AS dan SBN dalam negeri yang mendorong capital outflow, menyempitnya likuiditas bank yang sedang mengejar pertumbuhan kredit pasca pandemi, meningkatnya borrowing cost bagi rumah tangga dan bisnis sehingga terjadi pengurangan konsumsi bagi rumah tangga dan minimnya ekspansi di lingkungan bisnis, dan meningkatnya resiko imported inflation yang dipicu oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar sehingga meningkatkan biaya bahan baku dan produk impor dari AS. 

Kepala Departemen Riset dan Informasi Pasar Penilai Harga Efek Indonesia, Roby Rushandie, berpendapat bahwa memperbanyak posisi di SBN bertenor pendek merupakan strategi yang optimal dalam berinvestasi di kondisi pasar saat ini. Volatilitas SBN bertenor pendek akan meminimalisasi dampak buruk dari pasar keuangan yang volatil pada tahun 2022 ini. Namun, investor dinilai perlu waspada terhadap potensi peningkatan suku bunga yang mungkin dilakukan oleh Bank Indonesia. Peningkatan suku bunga dalam negeri ini dinilai akan menjadi sentimen negatif pasar SBN sehingga akan membuat investor mendapatkan pengembalian (return) yang tidak sebaik ekspektasi awal. 

Referensi

Achuthan, L. (2022, June 15). How is the business cycle measured? Investopedia. https://www.investopedia.com/terms/b/businesscycle.asp#toc-the-varieties-of-cyclical-ex perience 

Azka, R. M., & Nugroho, A. C. (2022a, June 25). IHSG Menguat 1,53 Persen Sepekan, Kembali ke Level 7.000. Bisnis.Com. https://m.bisnis.com/market/read/20220625/7/1547803/ihsg-menguat-153-persen-sepeka n-kembali-ke-level-7000 

Azka, R. M., & Nugroho, A. C. (2022b, June 25). IHSG Menguat 1,53 Persen Sepekan, Kembali ke Level 7.000. Bisnis.Com. https://m.bisnis.com/market/read/20220625/7/1547803/ihsg-menguat-153-persen-sepeka n-kembali-ke-level-7000 

Belvedere, M. J. (2022, June 24). 5 things to know before the stock market opens Friday. CNBC. https://www.cnbc.com/2022/06/24/5-things-to-know-before-the-stock-market-opens-frida y-june-24.html 

Cox, J. (2022, June 15). Fed hikes its benchmark interest rate by 0.75 percentage point, the biggest increase since 1994. CNBC. https://www.cnbc.com/2022/06/15/fed-hikes-its-benchmark-interest-rate-by-three-quarter s-of-a-point-the-biggest-increase-since-1994.html 

Dirgantara, H. (2022, June 23). Membedah Outlook Pasar Obligasi Indonesia di Tengah Tren Kenaikan Suku Bunga Global. Www.Kontan.Co.Id. https://investasi.kontan.co.id/news/membedah-outlook-pasar-obligasi-indonesia-di-tenga h-tren-kenaikan-suku-bunga-global 

Domm, P. (2022, June 24). Quarter-end buying may lift stocks higher before the next market storm. CNBC. https://www.cnbc.com/2022/06/24/quarter-end-buying-may-lift-stocks-higher-before-the next-market-storm.html 

Elena, M., & Simamora, N. S. (2021, December 21). Efek Tapering Off the Fed, Sri Mulyani: Indonesia Masih di Posisi Aman, Tapi.. Bisnis.Com. https://ekonomi.bisnis.com/read/20211221/9/1480005/efek-tapering-off-the-fed-sri-muly ani-indonesia-masih-di-posisi-aman-tapi 

English, W. B., & Kohn, D. (2022, June 1). What if the Federal Reserve books losses because of its quantitative easing? Brookings. https://www.brookings.edu/blog/up-front/2022/06/01/what-if-the-federal-reserve-books-l osses-because-of-its-quantitative-easing/ 

Hall, M. (2022, June 26). How do interest rates affect the stock market? Investopedia. https://www.investopedia.com/investing/how-interest-rates-affect-stock-market/#toc-inter est-rates-and-the-stock-market 

Investasi, B. P. (2014, April 14). Strategi investasi di 4 fase siklus ekonomi. Bareksa.Com. https://www.bareksa.com/berita/pasar-modal/2014-04-14/strategi-investasi-di-4-fase-sikl us-ekonomi 

Krishna, M. (2013, June 13). Fed tapering and its impact on the markets. The Balance. https://www.thebalance.com/fed-tapering-impact-on-markets-416859#toc-how-tapering-i mpacts-markets 

Liputan6.com. (2022, February 17). Tenang, Dampak Tapering The Fed Tak Sebesar saat 2013. Liputan6https://www.liputan6.com/bisnis/read/4889457/tenang-dampak-tapering-the-fed-tak-sebe sar-saat-2013 

Mahardhika, L. A., & Gumilar, P. (2022, June 24). Menaksir Laju IHSG Semester II dan Katalis Positif Penunjangnya. Bisnis.Com. https://m.bisnis.com/market/read/20220624/7/1547726/menaksir-laju-ihsg-semester-ii-da n-katalis-positif-penunjangnya 

Milstein, E., & Wessel, D. (2021, December 17). What did the Fed do in response to the COVID-19 crisis? Brookings. https://www.brookings.edu/research/fed-response-to-covid19/ Min, S., & Meredith, S. (2022, June 24). 10-year Treasury yield rises but still down for the week as investors weigh slowing economy. CNBC. https://www.cnbc.com/2022/06/24/us-bonds-investors-monitor-economic-data-and-fed-sp eeches.html 

Natalia, M. (2022, June 20). Imbas the Fed, Ekonom Minta BI Naikkan Suku Bunga. Www.Idxchannel.Comhttps://www.idxchannel.com/economics/imbas-the-fed-ekonom-minta-bi-naikkan-suku-b unga?_gl=1*1loir1f*_ga*YW1wLUVjQ19YcXZJYWNlSndMUDB3Q3BwSWZZeHFlZ WtlSVBWS0swbURhcTNTVDNzb3pOQ19rRmgxY3lLamVITGxTd18 

Royal, J. (2018, February 9). What is a stock market correction? NerdWallet. https://www.nerdwallet.com/article/investing/what-is-a-stock-market-correction-and-wha t-happens-in-a-crash 

The Investopedia Team. (2022, February 8). Taper tantrum. Investopedia. https://www.investopedia.com/terms/t/taper-tantrum.asp Woodley, K. (2022, June 24). Stock market today (6/24/22): Stocks stick the landing in successful short week. Kiplinger. https://www.kiplinger.com/investing/stocks/604853/stock-market-today-062422

Written by:

Research and Development Division

Grace Eva Rosana
grace.eva@ui.ac.id

Habel Abraham B.S
habel.abraham@ui.ac.id

Gayska Vetotama
gayska.vetotama@ui.ac.id

Published by:

Operation and Infrastructure Division

Muhammad Rafif Muzakki Putra Firmanto

muhammad.rafif34@ui.ac.id